Laman

Kamis, 19 Februari 2015

Ralstonia solanacearum:
FAKTOR VIRULENSI DAN PATOGENESISNYA

Oleh:
Rachmad Saputra (13/353158/PPN/03814)

Program Studi Pascasarjana Fitopatologi
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada

Disampaikan pada Seminar Kelas, 20 Januari 2015

PENDAHULUAN
Penyakit layu bakteri tersebar luas di daerah tropika dan mendapat perhatian dari Asian Vegetable Research and Development (AVRDC) Taiwan. Penyakit layu bakteri telah lama dikenal sebagai penyakit yang merugikan di Indonesia, terutama pada pertanaman tembakau, tomat, kentang, kacang tanah dan pisang. Awal mulanya sejarah layu bakteri di Indonesia yaitu dengan adanya serangan terhadap tembakau tahun 1892 dan tembakau Deli tahun 1864. Penyakit layu yang menyerang tanaman tomat dilaporkan pertama oleh Hunger (1901) dalam Kelman (1953) telah menyebabkan kehilangan hasil di daerah pesisir Sumatera Barat.

Penyakit layu bakteri adalah satu dari sekian banyak penyakit yang dapat mematikan tanaman di seluruh dunia, dengan dampak tertinggi di wilayah tropik dan wilayah bertemperatur hangat (Kado, 2010). Dianggap sebagai salah satu penyakit bakteri yang paling penting dari tanaman, layu bakteri pertama kali dijelaskan oleh EF Smith dalam kentang, tomat dan terong pada tahun 1896 dan kemudian di tembakau pada tahun 1908 (Alvarez et al., 2010).
Patogen ini merupakan patogen tular tanah dan memiliki kisaran inang yang sangat luas yang dapat menginfeksi lebih dari 300 spesies tanaman, yang termasuk ke dalam lebih dari 30 famili tanaman. Anggota Solanaceae seperti kentang, tomat, terong, cabai dan tembakau adalah tanaman inang utama untuk patogen ini (Hayward, 1991).
Variabilitas antara strain R. solanacearu ini terbukti dari fakta bahwa berbagai ras dan biovars memiliki asal-usul evolusi yang terpisah. Untuk ras 1, yang memiliki jumlah tertinggi spesies tanaman inang, tanaman solanaceous seperti cabai dan paprika, terong, kentang, tembakau dan tomat; tanaman non-solanaceous seperti kacang, kacang tanah dan bunga matahari; tanaman hias seperti Anthurium spp., Dahlia spp., Heliconia spp., Hibiscus spp., Lesianthus spp., Lilium spp., marigold, palms, Pothos spp., Strelitzia spp., Verbena spp. dan Zinnia spp .; pohon seperti Eucalyptus dan pohon buah-buahan seperti BlackSapote, custard apel, dan nimba. Juga, meskipun kurang penting, abaca, kacang tunggak, cucurbits, kacang gondok, goni, kelor, murbei, pala, nilam, Perilla crispa, wijen, strawberry, kangkung, wax apel dan kecipir. Ras 1 terdapat di lima benua, termasuk Eropa. Untuk ras 2, pisang, pisang raja, Musa spp lainnya. dan Heliconia spp baik yang liar maupun hias. Ras ini terjadi terutama di daerah tropis Amerika Selatan dan juga di Filipina. Untuk ras 3, Capsicum spp, terong, geranium, kentang dan tomat.; gulma seperti Solanum dulcamara dan S. nigrum. Ras ini yang tersebar di lima benua. Untuk ras 4, jahe dan tanaman lainnya yang terkait spesies mioga dan patumma; ras 4 terjadi di Asia. Untuk ras 5, Morus spp; itu terbatas pada Cina (Elphinstone et al., 2005) .
Kerugian ekonomi yang besar diakibatkan oleh epidemi layu bakteri telah terjadi di lahan pertanaman tomat, kentang, tembakau, pisang, kacang tanah, dan tanaman jahe yang terinfeksi. Secara keseluruhan, dampak ekonomi dari penyakit ini diketahui sangat besar di berbagai belahan dunia terlepas dari kenyataan bahwa kekurangan informasi tentang efeknya pada pertanian subsisten, yaitu pada kentang, menyebabkan kesulitan untuk secara akurat memperkirakan kerusakan ekonomi. Secara umum, kerugian tergantung pada iklim setempat, jenis tanah, praktik tanam, pilihan tanaman dan tanaman kultivar, dan karakteristik virulen dari R. solanacearum strain lokal (Elphinstone et al, 2005).

MEKANISME INFEKSI
Bakteri R. solanacearum sebelummenginfeksi tanaman harus dapat mendekati permukaan tanaman inangnya terlebih dahulu dengan memanfaatkan rangsangan yang dikeluarkan oleh akar tanaman inang berupa eksudat akar berupa bahan kimia seperti asam amino dan asam organik (Arwiyanto, 2014). Setelah mendekati inang, bakteri kemudian akan menginfeksi. Menurut Semangun (2006), R. solanacearum menginfeksi akar tanaman melalui luka yang terjadi secara tidak langsung pada waktu proses pemindahan tanaman maupun luka akibat tusukan nematoda akar, dan secara langsung masuk ke dalam bulu akar/akar yang sangat muda dengan melarutkan dinding sel. Infeksi secara langsung lebih banyak terjadi jika populasi bakteri di tanah terdapat dalam jumlah yang tinggi (Semangun, 2006).
FAKTOR-FAKTOR VIRULENSI
Eksopolisakarida
Produksi EPS memainkan peran kunci dalam patogenisitas R. solanacearum. Enzim yang berperan dalam biosintesis EPS dikodekan oleh eps operon (Garg et al., 2000). eps promotor tergantung pada regulator global PhcA, yang produksinya terjadi secara post–transcriptional yang ditekan oleh PhcR pada kepadatan sel yang rendah. Pada kepadatan bakteri di atas 107 cfu/ml, konsentrasi lokal 3-hydroxypalmitic asam metil ester (3-OH-PAME), sebuah molekul quorum-sensing yang dihasilkan oleh PhcB meningkat dan melepaskan PhcA yang ditekan oleh PhcR fosforilasi dan merangsang produksi EPS (Garg et al., 2000).
Beberapa spesies bakteri fitopatogenik menghasilkan EPS dalam jumlah banyak, baik pada biakan di laboratorium maupun ketika berada di dalam jaringan tanaman. EPS selalu dikaitkan dengan virulensi. Kelayuan yang terjadi secara cepat pada tanaman yang terinfeksi R. solanacearum karena berkas pembuluh xilem diblok oleh EPS dan sel bakteri sehingga pengangkutan air dan unsur hara menjadi terganggu. Selain memblokir aliran air dan unsur hara, EPS juga berfungsi melindungi R. solanacearum dari deteksi oleh tanaman inang karena adanya benda asing yang masuk ke dalam jaringan tanaman tersebut (Arwiyanto, 2014).
Setiap agensia biotik yang masuk ke dalam tanaman akan segera dikenali kemudian diikat dengan protein yang disebut lectin sehingga agensia tersebut tidak bisa berkembang. Strain R. solanacearum yang kehilangan EPS apabila diinokulasikan ke tanaman inang rentan, akan diikat oleh lektin sehingga tidak bisa berkembang dan hanya menyebabkan nekrosis lokal ketika bakteri tersebut diinokulasikan (Arwiyanto, 2014). 
Sistem Sekresi Tipe III (T3SS)
Kelompok gen yang mengendalikan induksi perkembangan penyakit dan reaksi hipersensitif pada R. solanacearum disebut gen-gen hrp. Dengan demikian, mutan hrp tidak dapat menimbulkan gejala pada inang rentan dan tidak bisa menimbulkan reaksi hipersensitif pada tanaman tahan atau pada tanaman bukan inang. Gen-gen hrp terkelompok dalam megaplasmid dan menjadi komponen-komponen sistem sekresi tipe III (T3SS) dan protein efektor. Pada semua kelompok (cluster) hrp, gen-gen tersimpan (conserve genes) disebut juga gen-gen hrc mungkin merupakan inti dari T3SS (Arwiyanto, 2014).
T3SS berperan penting dalam patogenesis karena sistem ini mengeluarkan protein-protein efektor yang kemudian ditranslokasikan ke dalam sel-sel tanaman inang. Protein-protein efektor tersebut berperan pada fase invasif dengan menghambat pertahanan tanaman atau menginduksi pelepasan nutrisi dari sel tanaman inang. Dalam beberapa hal, efektor dapat menginduksi reaksi hipersensitif karena dikenali oleh sistem pertahanan inang. Efektor tersebut dikenal sebagai protein avirulen (Avr) (Arwiyanto, 2014).
Baru-baru ini , pada pengujian studi Transkriptome di tanaman dan tes QRT - PCR oleh Jacobs et al . (2012) dan dalam studi ekspresi tanaman menggunakan green fluorescent protein fusi reporter oleh Monterio et al. (2012)  menemukan bahwa T3SS masih aktif bahkan setelah R. solanacearum telah mengambil alih xilem , menunjukkan bahwa T3SS berfungsi pada seluruh proses penyakit. Hasil ini mengubah penyebaran pandangan secara luas dari studi in vitro terdahulu dimana T3SS hanya aktif pada tahap pertama infeksi dan tidak diperlukan ketika bakteri mencapai kepadatan sel yang tinggi (Yoshimochi et al., 2009).
Motilitas
Motilitas merupakan saah satu faktor virulensi pada R. soanacearum. Twitching motility yang dimediasi oleh pili tipe IV dan pergerakan berenang (swimming motility) yang dimediasi oleh flagela diperlukan secara penuh untuk virulensi di R. solanacearum (Tans-Kersten et al., 2004). Sebuah mutan R. solanacearum non-motil flagellin (fliC) secara signifikan mengalami kekurangan virulensi ketika diinokulasikan pada tanaman toman yang tidak dilukai pada metode pengujian perendaman tanah secara alami (Tans-Kersten et al., 2004).
Namun, dengan menyuntikkan mutan aflagellate Flic (flagellin) langsung ke dalam batang tanaman inang dapat menimbulkan gejala sebagaimana fenotipe virulensi tipe liar. Hal tersebut menunjukkan bahwa motilitas berenang memiliki kontribusi untuk virulensi awal pengembangan penyakit, yang memungkinkan patogen untuk bergerak menuju rhizosfer tanaman inang, menempel pada akar, dan menginvasi jaringan akar tanaman inang (Tans-Kersten et al., 2004).
Enzim Pendegradasi Dinding Sel dan Sistem Sekresi Tipe II (T2SS)
Bakteri fitopatogenik sering menghasilkan enzim untuk menghidrolisis komponen dinding sel tanaman untuk mendapatkan nutrisi dan energi, yang selanjutnya terlibat dalam tahap awal proses infeksi, mendukung masuk dan berkembangnya bakteri pathogen di dalam jaringan inang. Hal tersebut dikarenakan nutrisi yang diperlukan untuk tumbuh dan berkembangnya patogen terikat pada komponen sel atau berada di dalam sel dan di ruang antarsel (Arwiyanto, 2014).
R. solanacearum menghasilkan beberapa enzim perombak dinding sel tanaman yang disekresi melalui sistem sekresi tipe II (T2SS). Enzim tersebut adalah satu β-1,4-selobiohidrolase (CbhA) dan beberapa enzim pectinase, yaitu satu β-1,4-endoglukanase (Egl, protein dengan BA 43-kDa), satu endopoligalakturonase (PehA), dua eksopoligalakturonases (PehB dan PehC) dan satu pektin metil esterase (Pme). Enzim selulase dan pektinolitik diperlukan oleh bakteri untuk kolonisasi inang dan bukan sebagai alat untuk mendapatkan nutrisi di dalam tanaman. Dengan demikian, enzim hidrolitik diduga berperan dalam patogenisitas bakteri di dalam tanaman (Arwiyanto, 2014).
Liu et al. (2005 ) melaporkan bahwa GMI1000 mutan yang kekurangan satu enzim pectic (PehA, PehB atau PehC) sedikit kurang virulen dibandingkan GMI1000 tipe liar, tetapi mutan yang kekurangan dua enzim pectic (PehA dan PehB) atau tiga enzim pectic (PehA, PehB atau PehC) setidaknya memiliki  virulensi sebagaimana tipe liar GMI1000. Penghapusan satu atau dua enzim selulolitik (Egl dan CbhA) menghasilkan mutan yang secara signifikan kurang virulen dibandingkan GMI1000 dan dalam kombinasi efek ini meningkat. Tanaman yang diinokulasi dengan mutan yang kekurangan enam enzim (PehA, PehB, PehC, Egl, CbhA dan Pme) menunjukkan keterlambatan perkembangan gejala, tapi lebih ganas dari pada mutan yang hanya kehilangan Egl/CbhA. Mutan yang kehilangan 6 enzim pendegradasi dinding sel secara signifikan juga menunjukkan virulensi yang lebih baik dibandingkan mutan R. solanasearum yang kehilangan T2SS.
Faktor Virulensi Lainnya
Lipopolisakarida (LPS) telah lama diduga berperan penting dalam proses patogenesis R. solanacearum. LPS bakteri merupakan salah satu komponen membran luar dan terdiri dari tiga bagian, yaitu: lipid A, inti oligosakarida dan  antigen spesifik O. Ada atau tidak adanya antigen spesifik O menyebabkan masing-masingnya dibedakan menjadi LPS halus dan kasar. LPS yang kasar tidak dapat berperan sebagai pengimbas HR, sedangkan yang halus dapat mengimbas HR. Pada R. solanacearum, LPS halus diperlukan untuk mencegah aglutinasi oleh lektin tanaman. LPS dan EPS R. solanacearum saling berkaitan karena pembentukan kedua komponen permukaan sel bakteri tersebut disandi oleh sebuah kelompok gen (Arwiyanto, 2014).
Selain faktor virulensi yang disebutkan di atas, R. solanacearum juga memiliki faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap virulensinya. Sebagai contoh, R. solanacearum dapat menahan reactive oxygen species (ROS) selama patogenesis layu bakteri dan mengungkapkan beragam gen yang merespon stres oksidatif untuk detoksifikasi ROS atau mentolerir lingkungan oksidatif ini (Brown & Allen, 2004). Beberapa jalur metabolisme juga tampak diperlukan selama patogenesis R. solanacearum, dan penghapusan gen metionin biosintesis metER dihasilkan berkurang secara signifikan gejala penyakit tanpa menyebabkan auxotrophy atau mempengaruhi pertumbuhan di dalam tanaman (Plener et al., 2012) .
  PATOGENESIS R. solanacearum PADA TANAMAN INANG
Setelah menempel dan menginfeksi tanaman inangnya, R. solanacearum akan mengkolonisasi ruang interseluler korteks akar. Enzim poligalakturonase (PG) berperan penting dalam infeksi korteks ini. Nutrisi yang diperoleh dari hasil perombakan dapat meningkatkan populasi patogen dengan cepat. Infeksi berlanjut ke tingkat korteks yang lebih dalam dari akar utama. Bakteri patogen kemudian bergerak dari jaringan korteks ke jaringan parenkim berkas pembuluh melewati jaringan endodermis lalu menginfeksi ruang interseluler jaringan parenkim dekat pembuluh xilem. Bakteri kemudian masuk ke dalam pembuluh xilem dengan mendegradasi sel-sel parenkim disekelilingnya dengan enzim hidrolitik. Di dalam pembuluh xilem bakteri dengan bebas memperbanyak diri dan dengan bantuan aliran transpirasi menyebar ke bagian lain dari tanaman. Perbanyakan dan produksi EPS yang cepat menyebabkan tanaman menjadi layu dan pada akhirnya tanaman mati dan R. solanacearum keluar dari jaringan tanaman inangkemudian masuk ke dalam tanah (Arwiyanto, 2014).
Bakteri yang dilepaskan dari akar tanaman yang terinfeksi dapat menularkan penyakit ke tanaman yang berdekatan. Banyak gulma tanpa menunjukkan gejala, namun bakteri ada dan bertahan di dalam akarnya (Wang dan Lin, 2005) seperti pada perakaran gulma Solanum dulcamara-bitterw\sweet (Elphinstone et al., 1998). R. solanacearum tersebar dengan banyak cara, meliputi kontak antara akar ke akar yang lainnya, bergerak di tanah dan air, disebarkan melalui alat-alat pertanian, pemangkasan, dan yang terpenting adalah melalui bahan tanaman yang terinfeksi (Kerr & Gibb, 1997).
Gambar 1. Patogenesis Penyakit Layu Bakteri (Genin, 2010)

Fase kehidupan R. solanacearum juga mencakup fase saprofitik seperti di banyak patogen lainnya (Morris et al, 2009.). Bakteri dapat bertahan hidup selama beberapa tahun di tanah dengan tidak adanya inang yang sesuai, atau pada aliran air yang merupakan sarana penting penyebaran patogen. Kelangsungan hidup jangka panjang dalam tanah membutuhkan kelembaban dan mungkin tergantung pada degradasi sel tanaman melalui memetabolisme derivatif lignin (Genin & Boucher, 2004), atau kemampuan untuk mengkolonisasi gulma atau tanaman lain tanpa munculnya gejala (Hayward, 1991). R. solanacearum mampu bertahan pada kelangkaan nutrisi yang berkepanjangan, seperti yang telah dilaporkan bahwa bakteri dapat menyebabkan kelayuan pada tanaman inang setelah 132 hari setelah bakteri di inkubasi di dalam air ultra murni (van Overbeek et al., 2004). Pengamatan ini mengungkapkan bahwa bakteri secara genetik dilengkapi untuk merespon secara efisien dalam berbagai cekaman abioti, dan hal tersebut dapat dikorelasikan dengan ukuran genomnya yang agak besar (5.7 Mb) (Salanoubat et al., 2002).
GEJALA PENYAKIT LAYU BAKTERI
Ada beberapa karakteristik gejala eksternal dan internal dari penyakit layu bakteri. Gejala eksternal yang paling sering terlihat adalah tanaman terinfeksi layu, mengerdil dan menguning pada dedaunannya. Gejala lainnya adalah daun membungkuk ke bawah menunjukkan daun epinasty, akar adventif yang tumbuh di batang, dan terlihat adanya garis-garis gelap yang sempit sesuai dengan berkas pembuluh yang terinfeksi di bawah epidermis. Meskipun penyakit ini biasanya berkembang sampai layu menyeluruh dan menyebabkan tanaman rebah, ekspresi gejala dan laju perkembangan penyakit dapat bervariasi tergantung pada kerentanan inang dan agresivitas strain patogen. Dalam kasus-kasus di mana tanaman yang terinfeksi tidak menunjukkan layu, karakteristik gejala eksternal dapat berupa gejala kerdil (Kelman, 1953)

Gambar 2. Gejala Eksternal Layu Bakteri pada Beberapa Tanaman Inang


Gejala internal yang paling sering adalah perubahan warna secara progresif dari jaringan pembuluh, terutama xilem, pada tahap awal infeksi, dan dari bagian-bagian empulur dan korteks, sebagai tempat penyakit berkembang, sampai nekrosis. Cairan kental berlendir biasanya muncul pada potongan melintang batang pada titik-titik yang sesuai dengan berkas pembuluh. Akibatnya, tanaman kolaps dan kematian berlangsung karena degradasi pembuluh xilem tersumbat dan penghancuran jaringan sekitarnya (Smith, 1920 dalam Alvarez, et al., 2010).

Tanda-tanda layu yang pertama kali terlihat pada daun muda saat cuaca panas. Tanaman yang layu terkadang kembali segar ketika suhu menurun dipenghujung hari. Biasanya, layu permanen terjadi setelah beberapa hari. Daun yang layu terkadang mempertahankan warna hijaunya dan tidak gugur. Berkas pembuluh menjadi coklat yang terjadi pada bagian bawah batang. Terkadang pembusukan pada akar terlihat karena adanya invasi mikroba saprofitik lainnya. Pengujian untuk identifikasi dan membedakan penyakit ini dari penyakit lain (layu yang disebabkan oleh Fusarium spp. dan Verticillium spp., hawar disebabkan oleh Phytophthora spp.) adalah munculnya lendir, cairan bakteri yang keputihan ketika bagian batang yang terinfeksi ditempatkan dalam air (Wang & Lin, 2005).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar