Ralstonia solanacearum:
FAKTOR
VIRULENSI DAN PATOGENESISNYA
Oleh:
Rachmad Saputra
(13/353158/PPN/03814)
Program Studi Pascasarjana Fitopatologi
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada
Disampaikan pada Seminar Kelas, 20 Januari 2015
PENDAHULUAN
Penyakit
layu bakteri tersebar luas di daerah tropika dan mendapat perhatian dari Asian
Vegetable Research and Development (AVRDC) Taiwan. Penyakit layu bakteri telah
lama dikenal sebagai penyakit yang merugikan di Indonesia, terutama pada
pertanaman tembakau, tomat, kentang, kacang tanah dan pisang. Awal mulanya
sejarah layu bakteri di Indonesia yaitu dengan adanya serangan terhadap
tembakau tahun 1892 dan tembakau Deli tahun 1864. Penyakit layu yang menyerang
tanaman tomat dilaporkan pertama oleh Hunger (1901) dalam Kelman (1953) telah menyebabkan kehilangan hasil di daerah
pesisir Sumatera Barat.
Penyakit layu bakteri adalah satu dari sekian banyak penyakit yang dapat mematikan tanaman di seluruh dunia, dengan dampak tertinggi di wilayah tropik dan wilayah bertemperatur hangat (Kado, 2010). Dianggap sebagai salah satu penyakit bakteri yang paling penting dari tanaman, layu bakteri pertama kali dijelaskan oleh EF Smith dalam kentang, tomat dan terong pada tahun 1896 dan kemudian di tembakau pada tahun 1908 (Alvarez et al., 2010).
Patogen ini merupakan
patogen tular tanah dan memiliki kisaran inang yang sangat luas yang dapat
menginfeksi lebih dari 300 spesies tanaman, yang termasuk ke dalam lebih dari
30 famili tanaman. Anggota Solanaceae
seperti kentang, tomat, terong, cabai dan tembakau adalah tanaman inang utama
untuk patogen ini (Hayward, 1991).
Variabilitas antara
strain R. solanacearu ini terbukti
dari fakta bahwa berbagai ras dan biovars memiliki asal-usul evolusi yang
terpisah. Untuk ras 1, yang memiliki jumlah tertinggi spesies tanaman inang,
tanaman solanaceous seperti cabai dan paprika, terong, kentang, tembakau dan
tomat; tanaman non-solanaceous seperti kacang, kacang tanah dan bunga matahari;
tanaman hias seperti Anthurium spp., Dahlia spp., Heliconia spp., Hibiscus
spp., Lesianthus spp., Lilium spp., marigold, palms, Pothos spp., Strelitzia spp., Verbena
spp. dan Zinnia spp .; pohon seperti Eucalyptus dan pohon buah-buahan seperti
BlackSapote, custard apel, dan nimba. Juga, meskipun kurang penting, abaca, kacang tunggak, cucurbits, kacang gondok, goni, kelor,
murbei, pala, nilam, Perilla crispa,
wijen, strawberry, kangkung, wax apel
dan kecipir. Ras 1 terdapat di lima benua, termasuk Eropa. Untuk ras 2, pisang,
pisang raja, Musa spp lainnya. dan Heliconia spp baik yang liar maupun hias.
Ras ini terjadi terutama di daerah tropis Amerika Selatan dan juga di Filipina.
Untuk ras 3, Capsicum spp, terong,
geranium, kentang dan tomat.; gulma seperti Solanum
dulcamara dan S. nigrum. Ras ini
yang tersebar di lima benua. Untuk ras 4, jahe dan tanaman lainnya yang terkait
spesies mioga dan patumma; ras 4 terjadi di Asia. Untuk ras 5, Morus spp; itu terbatas pada Cina
(Elphinstone et al., 2005) .
Kerugian ekonomi
yang besar diakibatkan oleh epidemi layu bakteri telah terjadi di lahan
pertanaman tomat, kentang, tembakau, pisang, kacang tanah, dan tanaman jahe
yang terinfeksi. Secara keseluruhan, dampak ekonomi dari penyakit ini diketahui
sangat besar di berbagai belahan dunia terlepas dari kenyataan bahwa kekurangan
informasi tentang efeknya pada pertanian subsisten, yaitu pada kentang, menyebabkan
kesulitan untuk secara akurat memperkirakan kerusakan ekonomi. Secara umum,
kerugian tergantung pada iklim setempat, jenis tanah, praktik tanam, pilihan
tanaman dan tanaman kultivar, dan karakteristik virulen dari R. solanacearum strain lokal (Elphinstone
et al, 2005).
MEKANISME INFEKSI
Bakteri
R. solanacearum sebelummenginfeksi
tanaman harus dapat mendekati permukaan tanaman inangnya terlebih dahulu dengan
memanfaatkan rangsangan yang dikeluarkan oleh akar tanaman inang berupa eksudat
akar berupa bahan kimia seperti asam amino dan asam organik (Arwiyanto, 2014).
Setelah mendekati inang, bakteri kemudian akan menginfeksi. Menurut Semangun (2006), R. solanacearum menginfeksi akar tanaman melalui luka yang terjadi
secara tidak langsung pada waktu proses pemindahan tanaman maupun luka akibat
tusukan nematoda akar, dan secara langsung masuk ke dalam bulu akar/akar yang
sangat muda dengan melarutkan dinding sel. Infeksi secara langsung lebih banyak
terjadi jika populasi bakteri di tanah terdapat dalam jumlah yang tinggi
(Semangun, 2006).
FAKTOR-FAKTOR
VIRULENSI
Eksopolisakarida
Produksi
EPS memainkan peran kunci dalam patogenisitas R. solanacearum. Enzim yang berperan dalam biosintesis EPS
dikodekan oleh eps operon (Garg et al., 2000). eps promotor tergantung pada regulator global PhcA, yang
produksinya terjadi secara post–transcriptional
yang ditekan oleh PhcR pada kepadatan sel yang rendah. Pada kepadatan bakteri
di atas 107 cfu/ml, konsentrasi lokal 3-hydroxypalmitic asam metil
ester (3-OH-PAME), sebuah molekul quorum-sensing
yang dihasilkan oleh PhcB meningkat dan melepaskan PhcA yang ditekan oleh PhcR
fosforilasi dan merangsang produksi EPS (Garg et al., 2000).
Beberapa spesies
bakteri fitopatogenik menghasilkan EPS dalam jumlah banyak, baik pada biakan di
laboratorium maupun ketika berada di dalam jaringan tanaman. EPS selalu
dikaitkan dengan virulensi. Kelayuan yang terjadi secara cepat pada tanaman
yang terinfeksi R. solanacearum
karena berkas pembuluh xilem diblok oleh EPS dan sel bakteri sehingga
pengangkutan air dan unsur hara menjadi terganggu. Selain memblokir aliran air
dan unsur hara, EPS juga berfungsi melindungi R. solanacearum dari deteksi oleh tanaman inang karena adanya benda
asing yang masuk ke dalam jaringan tanaman tersebut (Arwiyanto, 2014).
Setiap agensia biotik
yang masuk ke dalam tanaman akan segera dikenali kemudian diikat dengan protein
yang disebut lectin sehingga agensia
tersebut tidak bisa berkembang. Strain R.
solanacearum yang kehilangan EPS apabila diinokulasikan ke tanaman inang
rentan, akan diikat oleh lektin sehingga tidak bisa berkembang dan hanya
menyebabkan nekrosis lokal ketika bakteri tersebut diinokulasikan (Arwiyanto,
2014).
Sistem Sekresi Tipe III
(T3SS)
Kelompok gen yang
mengendalikan induksi perkembangan penyakit dan reaksi hipersensitif pada R. solanacearum disebut gen-gen hrp. Dengan demikian, mutan hrp tidak dapat menimbulkan gejala pada
inang rentan dan tidak bisa menimbulkan reaksi hipersensitif pada tanaman tahan
atau pada tanaman bukan inang. Gen-gen hrp
terkelompok dalam megaplasmid dan menjadi komponen-komponen sistem sekresi tipe
III (T3SS) dan protein efektor. Pada semua kelompok (cluster) hrp, gen-gen
tersimpan (conserve genes) disebut
juga gen-gen hrc mungkin merupakan
inti dari T3SS (Arwiyanto, 2014).
T3SS berperan penting
dalam patogenesis karena sistem ini mengeluarkan protein-protein efektor yang
kemudian ditranslokasikan ke dalam sel-sel tanaman inang. Protein-protein
efektor tersebut berperan pada fase invasif dengan menghambat pertahanan
tanaman atau menginduksi pelepasan nutrisi dari sel tanaman inang. Dalam
beberapa hal, efektor dapat menginduksi reaksi hipersensitif karena dikenali
oleh sistem pertahanan inang. Efektor tersebut dikenal sebagai protein avirulen
(Avr) (Arwiyanto, 2014).
Baru-baru
ini , pada pengujian studi Transkriptome di tanaman dan tes QRT - PCR oleh
Jacobs et al . (2012) dan dalam studi
ekspresi tanaman menggunakan green fluorescent protein fusi reporter oleh
Monterio et al. (2012) menemukan bahwa T3SS masih aktif bahkan
setelah R. solanacearum telah
mengambil alih xilem , menunjukkan bahwa T3SS berfungsi pada seluruh proses
penyakit. Hasil ini mengubah penyebaran pandangan secara luas dari studi in
vitro terdahulu dimana T3SS hanya aktif pada tahap pertama infeksi dan tidak
diperlukan ketika bakteri mencapai kepadatan sel yang tinggi (Yoshimochi et al., 2009).
Motilitas
Motilitas merupakan
saah satu faktor virulensi pada R.
soanacearum. Twitching
motility yang dimediasi oleh pili tipe IV dan pergerakan
berenang (swimming motility) yang dimediasi
oleh flagela diperlukan secara penuh untuk virulensi di R. solanacearum (Tans-Kersten et
al., 2004). Sebuah mutan R.
solanacearum non-motil flagellin (fliC)
secara signifikan mengalami kekurangan virulensi ketika diinokulasikan pada
tanaman toman yang tidak dilukai pada metode pengujian perendaman tanah secara
alami (Tans-Kersten et al., 2004).
Namun,
dengan menyuntikkan mutan aflagellate
Flic (flagellin) langsung ke dalam batang tanaman inang dapat menimbulkan
gejala sebagaimana fenotipe virulensi tipe liar. Hal tersebut menunjukkan bahwa
motilitas berenang memiliki kontribusi untuk virulensi awal pengembangan
penyakit, yang memungkinkan patogen untuk bergerak menuju rhizosfer tanaman
inang, menempel pada akar, dan menginvasi jaringan akar tanaman inang (Tans-Kersten
et al., 2004).
Enzim Pendegradasi Dinding Sel dan Sistem Sekresi Tipe
II (T2SS)
Bakteri fitopatogenik
sering menghasilkan enzim untuk menghidrolisis komponen dinding sel tanaman
untuk mendapatkan nutrisi dan energi, yang selanjutnya terlibat dalam tahap
awal proses infeksi, mendukung masuk dan berkembangnya bakteri pathogen di
dalam jaringan inang. Hal tersebut dikarenakan nutrisi yang diperlukan untuk
tumbuh dan berkembangnya patogen terikat pada komponen sel atau berada di dalam
sel dan di ruang antarsel (Arwiyanto, 2014).
R. solanacearum menghasilkan beberapa
enzim perombak dinding sel tanaman yang disekresi melalui sistem sekresi tipe
II (T2SS). Enzim tersebut adalah satu β-1,4-selobiohidrolase (CbhA) dan
beberapa enzim pectinase, yaitu satu β-1,4-endoglukanase (Egl, protein dengan BA 43-kDa), satu
endopoligalakturonase (PehA), dua eksopoligalakturonases (PehB dan PehC) dan
satu pektin metil esterase (Pme). Enzim selulase dan pektinolitik diperlukan
oleh bakteri untuk kolonisasi inang dan bukan sebagai alat untuk mendapatkan
nutrisi di dalam tanaman. Dengan demikian, enzim hidrolitik diduga berperan
dalam patogenisitas bakteri di dalam tanaman (Arwiyanto, 2014).
Liu
et al. (2005 ) melaporkan bahwa
GMI1000 mutan yang kekurangan satu enzim pectic (PehA, PehB atau PehC) sedikit
kurang virulen dibandingkan GMI1000 tipe liar, tetapi mutan yang kekurangan dua
enzim pectic (PehA dan PehB) atau tiga enzim pectic (PehA, PehB atau PehC)
setidaknya memiliki virulensi sebagaimana
tipe liar GMI1000. Penghapusan satu atau dua enzim selulolitik (Egl dan CbhA)
menghasilkan mutan yang secara signifikan kurang virulen dibandingkan GMI1000
dan dalam kombinasi efek ini meningkat. Tanaman yang diinokulasi dengan mutan yang
kekurangan enam enzim (PehA, PehB, PehC, Egl, CbhA dan Pme) menunjukkan
keterlambatan perkembangan gejala, tapi lebih ganas dari pada mutan yang hanya
kehilangan Egl/CbhA. Mutan yang kehilangan 6 enzim pendegradasi dinding sel
secara signifikan juga menunjukkan virulensi yang lebih baik dibandingkan mutan
R. solanasearum yang kehilangan T2SS.
Faktor Virulensi Lainnya
Lipopolisakarida (LPS)
telah lama diduga berperan penting dalam proses patogenesis R. solanacearum. LPS bakteri merupakan
salah satu komponen membran luar dan terdiri dari tiga bagian, yaitu: lipid A, inti
oligosakarida dan antigen spesifik O.
Ada atau tidak adanya antigen spesifik O menyebabkan masing-masingnya dibedakan
menjadi LPS halus dan kasar. LPS yang kasar tidak dapat berperan sebagai
pengimbas HR, sedangkan yang halus dapat mengimbas HR. Pada R. solanacearum, LPS halus diperlukan
untuk mencegah aglutinasi oleh lektin tanaman. LPS dan EPS R. solanacearum saling berkaitan karena pembentukan kedua komponen
permukaan sel bakteri tersebut disandi oleh sebuah kelompok gen (Arwiyanto,
2014).
Selain
faktor virulensi yang disebutkan di atas, R.
solanacearum juga memiliki faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap
virulensinya. Sebagai contoh, R.
solanacearum dapat menahan reactive
oxygen species (ROS) selama patogenesis layu bakteri dan mengungkapkan
beragam gen yang merespon stres oksidatif untuk detoksifikasi ROS atau
mentolerir lingkungan oksidatif ini (Brown & Allen, 2004). Beberapa jalur
metabolisme juga tampak diperlukan selama patogenesis R. solanacearum, dan penghapusan gen metionin biosintesis metER dihasilkan berkurang secara
signifikan gejala penyakit tanpa menyebabkan auxotrophy atau mempengaruhi
pertumbuhan di dalam tanaman (Plener et
al., 2012) .
PATOGENESIS R. solanacearum PADA TANAMAN INANG
Setelah
menempel dan menginfeksi tanaman inangnya, R.
solanacearum akan mengkolonisasi ruang interseluler korteks akar. Enzim
poligalakturonase (PG) berperan penting dalam infeksi korteks ini. Nutrisi yang
diperoleh dari hasil perombakan dapat meningkatkan populasi patogen dengan
cepat. Infeksi berlanjut ke tingkat korteks yang lebih dalam dari akar utama.
Bakteri patogen kemudian bergerak dari jaringan korteks ke jaringan parenkim
berkas pembuluh melewati jaringan endodermis lalu menginfeksi ruang interseluler
jaringan parenkim dekat pembuluh xilem. Bakteri kemudian masuk ke dalam
pembuluh xilem dengan mendegradasi sel-sel parenkim disekelilingnya dengan
enzim hidrolitik. Di dalam pembuluh xilem bakteri dengan bebas memperbanyak
diri dan dengan bantuan aliran transpirasi menyebar ke bagian lain dari
tanaman. Perbanyakan dan produksi EPS yang cepat menyebabkan tanaman menjadi
layu dan pada akhirnya tanaman mati dan R.
solanacearum keluar dari jaringan tanaman inangkemudian masuk ke dalam
tanah (Arwiyanto, 2014).
Bakteri yang
dilepaskan dari akar tanaman yang terinfeksi dapat menularkan penyakit ke
tanaman yang berdekatan. Banyak gulma tanpa menunjukkan gejala, namun bakteri
ada dan bertahan di dalam akarnya (Wang dan Lin, 2005) seperti pada perakaran
gulma Solanum dulcamara-bitterw\sweet (Elphinstone
et al., 1998). R. solanacearum tersebar
dengan banyak cara, meliputi kontak antara akar ke akar yang lainnya, bergerak
di tanah dan air, disebarkan melalui alat-alat pertanian, pemangkasan, dan yang
terpenting adalah melalui bahan tanaman yang terinfeksi (Kerr & Gibb,
1997).
Gambar
1. Patogenesis Penyakit Layu Bakteri (Genin, 2010)
Fase
kehidupan R. solanacearum juga
mencakup fase saprofitik seperti di banyak patogen lainnya (Morris et al, 2009.). Bakteri dapat bertahan
hidup selama beberapa tahun di tanah dengan tidak adanya inang yang sesuai,
atau pada aliran air yang merupakan sarana penting penyebaran patogen.
Kelangsungan hidup jangka panjang dalam tanah membutuhkan kelembaban dan
mungkin tergantung pada degradasi sel tanaman melalui memetabolisme derivatif
lignin (Genin & Boucher, 2004), atau kemampuan untuk mengkolonisasi gulma
atau tanaman lain tanpa munculnya gejala (Hayward, 1991). R. solanacearum mampu bertahan pada kelangkaan nutrisi yang
berkepanjangan, seperti yang telah dilaporkan bahwa bakteri dapat menyebabkan
kelayuan pada tanaman inang setelah 132 hari setelah bakteri di inkubasi di
dalam air ultra murni (van Overbeek et al.,
2004). Pengamatan ini mengungkapkan bahwa bakteri secara genetik dilengkapi
untuk merespon secara efisien dalam berbagai cekaman abioti, dan hal tersebut
dapat dikorelasikan dengan ukuran genomnya yang agak besar (5.7 Mb) (Salanoubat
et al., 2002).
GEJALA PENYAKIT LAYU BAKTERI
Ada beberapa karakteristik gejala
eksternal dan internal dari penyakit layu bakteri. Gejala eksternal yang paling
sering terlihat adalah tanaman terinfeksi layu, mengerdil dan menguning pada
dedaunannya. Gejala lainnya adalah daun membungkuk ke bawah menunjukkan daun
epinasty, akar adventif yang tumbuh di batang, dan terlihat adanya garis-garis
gelap yang sempit sesuai dengan berkas pembuluh yang terinfeksi di bawah
epidermis. Meskipun penyakit ini biasanya berkembang sampai layu menyeluruh dan
menyebabkan tanaman rebah, ekspresi gejala dan laju perkembangan penyakit dapat
bervariasi tergantung pada kerentanan inang dan agresivitas strain patogen.
Dalam kasus-kasus di mana tanaman yang terinfeksi tidak menunjukkan layu,
karakteristik gejala eksternal dapat berupa gejala kerdil (Kelman, 1953).
Gambar 2. Gejala Eksternal Layu Bakteri pada Beberapa Tanaman Inang
Gejala internal yang paling sering
adalah perubahan warna secara progresif dari jaringan pembuluh, terutama xilem,
pada tahap awal infeksi, dan dari bagian-bagian empulur dan korteks, sebagai
tempat penyakit berkembang, sampai nekrosis. Cairan kental berlendir biasanya
muncul pada potongan melintang batang pada titik-titik yang sesuai dengan
berkas pembuluh. Akibatnya, tanaman kolaps dan kematian berlangsung karena
degradasi pembuluh xilem tersumbat dan penghancuran jaringan sekitarnya (Smith,
1920 dalam Alvarez, et al., 2010).
Tanda-tanda layu yang pertama kali
terlihat pada daun muda saat cuaca panas. Tanaman yang layu terkadang kembali
segar ketika suhu menurun dipenghujung hari. Biasanya, layu permanen terjadi
setelah beberapa hari. Daun yang layu terkadang mempertahankan warna hijaunya
dan tidak gugur. Berkas pembuluh menjadi coklat yang terjadi pada bagian bawah
batang. Terkadang pembusukan pada akar terlihat karena adanya invasi mikroba
saprofitik lainnya. Pengujian untuk identifikasi dan membedakan penyakit ini
dari penyakit lain (layu yang disebabkan oleh Fusarium spp. dan Verticillium
spp., hawar disebabkan oleh Phytophthora
spp.) adalah munculnya lendir, cairan bakteri yang keputihan ketika bagian
batang yang terinfeksi ditempatkan dalam air (Wang & Lin, 2005).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar