KETAHANAN
TERINDUKSI
SYTEMIC
ACQUIRED RESISTANCE (SAR) DAN INDUCED SYSTEMIC RESISTANCE (ISR)
Oleh :
Yulia Rahmawati,
Utik Windari, Rachmad Saputra
Pasca Sarjana
Fitopatologi
Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada
Tanaman akan
mempertahankan diri terhadap serangan patogen. Pertahanan tanaman dapat
dilakukan secara fisik dan kimia. Ketahanan tanaman terinduksi adalah fenomena
dimana terjadi peningkatan ketahanan tanaman terhadap infeksi oleh patogen
setelah terjadi rangsangan. Ketahanan ini merupakan perlindungan tanaman bukan
untuk mengeliminasi patogen tetapi lebih pada aktivitas dari mekanisme
pertahanan tanaman. Ketahanan terinduksi dikategorikan sebagai perlindungan
secara biologi pada tanaman dimana tanaman adalah target metode ini bukan patogennya.
Induksi resistensi atau imunisasi atau resistensi buatan adalah suatu proses
stimulasi resistensi tanaman inang tanpa introduksi gen-gen baru. Induksi
resistensi menyebabkan kondisi fisiologis yang mengatur sistem ketahanan
menjadi aktif dan atau menstimulasi mekanisme resistensi alami yang dimiliki
oleh inang.
Ada dua bentuk ketahanan terinduksi yang umum yaitu Sytemic Acquired Resistance (SAR) dan Induced Systemic Resistance (ISR). Ketahanan tanaman terinduksi dapat dipicu dengan penambahan bahan-bahan kimia tertentu, mikroorganisme non patogen, patogen avirulen, ras patogen inkompatibel, dan patogen virulen yang infeksinya gagal karena kondisi lingkungan tidak mendukung. Ketahanan tanaman terinduksi karena penambahan senyawa kimia atau menginokulasikan patogen nekrotik sering diistilahkan dengan induksi SAR. Induksi SAR dicirikan dengan terbentuknya akumulasi asam salisilat (salicylic acid, SA) dan protein PR (patogenesis-related proteins, PR). Sedangkan ketahanan terinduksi karena agen biotik non-patogenik sering dikenal dengan ISR, seperti oleh rizobakteria.
Ada dua bentuk ketahanan terinduksi yang umum yaitu Sytemic Acquired Resistance (SAR) dan Induced Systemic Resistance (ISR). Ketahanan tanaman terinduksi dapat dipicu dengan penambahan bahan-bahan kimia tertentu, mikroorganisme non patogen, patogen avirulen, ras patogen inkompatibel, dan patogen virulen yang infeksinya gagal karena kondisi lingkungan tidak mendukung. Ketahanan tanaman terinduksi karena penambahan senyawa kimia atau menginokulasikan patogen nekrotik sering diistilahkan dengan induksi SAR. Induksi SAR dicirikan dengan terbentuknya akumulasi asam salisilat (salicylic acid, SA) dan protein PR (patogenesis-related proteins, PR). Sedangkan ketahanan terinduksi karena agen biotik non-patogenik sering dikenal dengan ISR, seperti oleh rizobakteria.
a.
Sytemic Acquired Resistance (SAR)
Pada
umumnya, ketahanan terimbas adalah ketahanan sistemik. Hal ini terjadi karena
daya pertahanan ditingkatkan tidak hanya pada bagian tanaman yang terinfeksi,
tetapi juga pada jaringan terpisah tempat yang tidak terinfeksi. Oleh karena
bersifat sistemik, ketahanan terimbas umumnya dirujuk sebagai SAR (Systemic
Acquired Resistence). Akan tetapi, ketahanan terimbas tidak selalu
ditampakkan secara sistemik, dapat juga ditampakkan secara setempat (Locally
Acquired Systemic = LAR), meskipun keaktifannya sama terhadap beragam
tipe patogen tanaman.
Beberapa
ciri SAR antara lain, SAR diperoleh setelah inokulasi dengan
necrotizing patogen, HR, atau aplikasi dari beberapa bahan kimia (SA
analog atau agonis). Untuk menghadapi serangan pathogen, membutuhkan asam
salisilat sebagai molekul sinyal pada tanaman dan disertai dengan
induksi pathogenesis related protein
Ketahanan
perolehan sistemik (SAR) mengacu pada jalur signal transduksi yang diaktivasi
oleh pembentukan lesio nekrotik lokal, juga sebagai hipersensitivitas reaksi (HR) dalam reaksi
inkompatibel atau sebagai gejala penyakit dalam reaksi kompatibel. Systemic
Acquired Resistance (SAR) dalam pertahanan tanaman terletak pada sistem
interaksi elisitor dan regulasi yang terjadi pada tanaman model Arabidopsis
thaliana. SAR tergantung pada tanaman dan elisitor patogen, ketahanan akan
muncul pada periode tertentu dengan mengkorespondensikan waktu yang dibutuhkan
untuk akumulasi PR-protein (dan transkripsi) dan produksi asam salisilat pada
tanaman inang. SAR membutuhkan akumulasi asam salisilat atau PR-protein dalam
sistem regulasi.
Terdapat
sedikitnya dua komponen utama yang berperan dalam mekanisme SAR, yaitu gen
penanda molekuler SAR dan salicylic acid. Telah diketahui bahwa penanda
tersebut kemudian disebut sebagai gen SAR. Hasil analisa terhadap protein yang
kemudian disebut sebagai protein SAR diklasifikasikan sebagai PR protein Gen
yang mengekpresikan SAR dihubungkan secara kolektif dengan gen SAR dan termasuk
beta 1,3 glukanase, PR-1 protein, kitinase dan osmotin-like protein.
SAR
juga dikarekterisasi oleh hubungan akumulasi kordinasi mRNA yang mengkode satu
set gen SAR. Ekpresi dari gen ini terdiri dari 14 family gen yang berhubungan
dengan banyak gen yang mengkode PR protein yang juga termasuk kriteria yang
dapat dihubungkan SAR dengan berbagai respon ketahanan.
Keberadaan
peningkatan salicylic acid yang
berhasil dideteksi pada bagian daun sistemik dan floem tanaman menunjukan bahwa
komponen kimia tersebut berperan sebagai system signal SAR. Salicylic acid
adalah komponen yang dibutuhkan dalam jalur signal transduksi untuk induksi
SAR, suatu bentuk peningkatan ketahanan tanaman melawan patogen berspektrum
luas. Penggerak untuk sintesis SA dan induksi SAR adalah pengenalan dari invasi
mikroorganisme oleh gen penghasil resistensi. Seringkali pengenalan ini
disertai oleh respon hipersensitif, suatu bentuk kematian sel inang secara
cepat pada bagian sekitar titik masuk patogen.
b.
Induced Systemic Resistance (ISR)
Ketahanan
sistemik terinduksi (ISR) pada dasarnya memiliki kesamaan dengan SAR. Mekanisme
ini terjadi sebagai akibat adanya infeksi oleh patogen sehingga tanaman memberikan
respon berupa reaksi-reaksi pertahanan seperti HR yang menyebabkan terjadinya
lesio nekrotik pada daerah terserang. Beberapa peneliti telah melaporkan
beberapa faktor yang dapat menicu ISR seperti senyawa kimia (siderofor,
antibiotik dan ion Fe) yang dihasilkan rizobakteria dan komponen sel bakteri
(dinding sel mikroba, flagella, filli, membran lipopolisakarida (LPS)) dapat
sebagai elicitor dalam menginduksi ketahanan secara sistemik.
Mekanisme
ISR terjadi sebagai akibat perubahan fisiologi tanaman yang kemudian
menstimulasi terbentuknya senyawa kimia yang berguna dalam pertahanan terhadap
seranagan patogen. Perubahan fisiologi tersebut dapat berupa modifikasi
struktural dinding sel atau perubahan reaksi biokimia pada tanaman inang.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan adanya induksi ketahanan sisteik oleh
bakteri yaitu: 1) Adanya sumbangan lipopolisakarida (LPS)
oleh bakteri; Komponen sel, seperti
membran lipopoliskarida (LPS) dan flagella dapat mengaktifkan respon ketahanan
tanaman. Selubung sel dari sebahagian besar bakteri gram negatif mempunyai
membran luar yang mempakan suatu struktur komplek yang terdiri dari
phosfolipid, lipopolysaccharida dan beberapa macam protein. Komponen-komponen
yang terdapat pada permukaan sel bakteri berperan dalam interaksi antara inang
dan mikroba. 2) Produksi siderofor oleh bakteri; 3) Produksi asam salisilat, yang dapat
terjadi secara langsung oleh bakteri ataupun secara tidak langsung.
Induksi
resistensi tanaman merupakan aktivitas pertahanan tanaman untuk melindungi diri
dari patogen. Dasar pemikiran dari induksi resistensi adalah bahwa gen untuk
ketahanan atau reaksi pertahanan ada pada semua tanaman. Gen tersebut tidak
diekspresikan sebelum induksi resistensi diberikan, ekspresi ketahanan baru
akan muncul setelah adanya inokulasi challange
(infeksi susulan) pada waktu dan lokasi yang berbeda. Aktivasi gen untuk
melindungi tanaman dapat diinduksi secara sistemik dengan signalling mollecules yang dihasilkan pada tempat agens Inducer Sistemic Resistance dan
ditransportasi dengan difusi atau melalui sistem pembuluh tanaman inang.
1. GENE OF GENE HYPOTESIS
Hidup berdampingan
secara alami antara tumbuhan inang dengan patogennya menunjukkan bahwa keduany
telah berkembang bersama. Perubahan dalam virulensi patogen pada tahap
berikutnya harus diimbangi dengan perubahan ketahanan inang, dan begitu juga
sebaliknya, sehingga keseimbangan dinamis ketahanan dan virulensi akan
dipelihara dan keduanya dapat bertahan hidup. Seandainya virulensi patogen dan ketahanan tanaman
inang dapat meningkat tanpa dapat diimbangi, hal ini akan mendorong tersisihnya
baik inang maupun patogen, yang sesungguhnya kejadian tersebut belum pernah
terjadi. Langkah evolusi tentang ketahanan dan virulensi dapat diterangkan
dalam konsep gen-untuk-gen (gene for gene
concept), yakni setiap gen yang memberi ketahanan untuk inang terdapat gen
yang berhubungan dengannya pada patogen yang memberi virulensi pada patogen
tersebut, demikian sebaliknya.
Konsep gen-untuk-gen pertama
kali dibuktiakan dari kasus yang terjadi pada amid an karat rami, tetapi sejak
saat itu telah ditemukan pula pada penyakit karat yang lain, gosong, penyakit
tepung, kudis apel, late blight
kentang, dan penyakit-penyakit lain yang disebabkan oleh jamur, dan juga
beberapa penyakit lain yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan tumbuhan
tingkat tinggi parasit serta nematoda. Pada semua penyakit tersebut terlihat
bahwa apabila suatu varietas tahan terhadap satu patogen sebagai akibat 1, 2,
dan 3 gen ketahanan, maka patogen dapat yang dapat mempengaruhinya juga
mengandung 1, 2, dan 3 gen virulensi. Setiap gen pada inang dapat dideteksi dan
diidentifikasi hanya oleh gen padanannya yang terdapat pada patogen, dan begitu
pula sebaliknya.
Umumnya, tetapi tidak selalu
demikian, pada inang gen untuk ketahanan bersifat dominan (R) sedangkan gen
untuk kerentanan yaitu tidak punya ketahanan bersifat resesif (r). Di lain
pihak, pada patogen gen untuk avirulensi yaitu tidak mempunyai kemampuan untuk
menginfeksi biasanya bersifat dominan (A), sedangkan gen untuk virulensi
bersifat resesif (a).
Tabel 1. Perbandingan
kuadratik kombinasi gen terhadap reaksi penyakit dalam suatu sistem
inang-patogen dalam konsep gen-untuk-gen.
Gen virulensi
atau avirulensi pada patogen
|
Gen ketahanan
atau kerentanan pada tumbuhan
|
|
R (tahan)
Dominan
|
r (rentan)
Resesif
|
|
A (avirulen)
Dominan
|
AR
(-)
|
Ar
(+)
|
a (virulen)
Resesif
|
aR
(+)
|
Ar
(+)
|
Keterangan:
Tanda (-) menunjukkan reaksi tidak cocok
(tahan) dan tidak menghasilkan infeksi. Tanda (+) menunjukkan rekasi
cocok dan selanjutnya infeksi akan berkemang.
Dari empat kemungkinan
kombinasi gen-gen tersebut, hanya kombinasi AR yang tahan, yaitu apabila inang
mempunyai gen ketahanan (R) terhadap patogen yang mempunyai gen avirulen (A).
kombinasi Ar, infeksi berhasil dengan baik karena inang kekurangan gen untuk
ketahanan dan dengan demikian patogen dapat menyerang dengan gen lain yang
dimilikinya untuk virulensi (di atas segalanya, patogen tersebut tetap sebagai patogen)
walaupun patogen tersebut tidak mempunyai gen virulensi spesifik terhadap gen
ketahanan yang tidak dipunyai oleh inang. Pada aR, infeksi berhasil karena
walaupun inang mempunyai gen untuk virulensi yang dapat menyerang secara khusus
gen ketahanan tersebut. Akhirnya, pada ar infeksi berhasil karena tumbuhan
rentan (r) dan di samping itu patogen juga virulen (a).
Gen untuk ketahanan pada
inang muncul pertama kali melalui evolusi dan selanjutnya mungkin digunakan
dalam program pemuliaan. Gen virulensi pada inang muncul setelah munculnya gen
khusus ketahanan pada inang, dan setiap gen virulensi khusus menyerang gen
ketahanan tersebut. Apabila muncul satu gen baru untuk virulensi yang menyerang
keberadaan gen ketahanan, maka ketahanan inang akan patah. Kemudian ahli
pemuliaan tumbuhan mengintroduksi ke tumbuhan tersebut gen lain untuk
ketahanan, sehingga meningkatkan ketahanan inang di atas jangkauan gen baru
untuk virulensi pada patogen. Hal tersebut akan mengasilkan varietas baru yang
tahan sampai gen lain untuk virulensi muncul pada patogen. Apabila suatu
varietas mempunyai dua gen atau lebih untuk ketahanan (R1, R2,
….) terhadap patogen tertentu, maka patogen tersebut harus juga mempunyai dua
gen atau lebih untuk virulensi (a1, a2, ….), yang
masing-masingnya ditunjukkan secara khusus terhadap satu gen ketahanan pada
inang, supaya infeksi dapat terjadi. Kombinasi gen dan bentuk reaksi penyakit
dari inana dan patogen dengan dua gen ketahanan atau virulensi dalam lokus yang
berhubungan, terlihat dalam table di bawah.
Tabel 2. Interaksi yang
bersifat komplementer (saling mengisi) dari dua gen inng untuk ketahanan dan
dua gen patogen untuk virulensi yang berhubungan serta bentuk reaksi
penyakitnya.
Gen virulensi (a) atau avirulen (A) pada patogen
|
Gen tahan (R) atau rentan (r) pada tumbuhan
|
||||
R1R2
|
R1r2
|
r1R2
|
r1r2
|
||
A1A2
|
-
|
-
|
-
|
+
|
|
A1a2
|
-
|
-
|
+
|
+
|
|
a1A2
|
-
|
+
|
-
|
+
|
|
a1a2
|
+
|
+
|
+
|
+
|
Tabel di atas
memberii penjelasan beberapa
masalah, Pertama, tumbuhan rentan (r1r2) yang tidak
mempunyai gen untuk ketahanan dapat diserang oleh semua ras patogen, walaupun patogen
tidak mempunyai gen khusus untuk virulensi (A1A2). Kedua,
rasa tau individu patogen yang membawa gen untuk virulensi (a1a2)
terhadap setiap gen ketahanan inang (R1R2) dapat
menginfeksi semua tumbuhan inang yang mempunyai kombinasi dari gen-gen tersebut
(R1R2, R1r2, r1R2).
Apabila patogen mempunyai salah satu dari dua gen virulensi (a1 atau
a2) maka patogen tersebut dapat menginfeksi tumbuhan yang mempunyai
gen yang
sesuai untuk
kethanan (R1 atau R2, secara berurutan) tetapi tidak dapat menginfeksi
tumbuhan yang mempunyai satu gen keahanan yang berbeda dengan gen virulensi
yang cocok dengannya (sebagai contoh, patogen dengan gen A1a2 dapat
menginfeksi tumbuhan yang mempunyai gen r1R2, tetapi tidak dapat menginfeksi R1r2
karena a2 dapat menyerang R2 tetapi A1 tidak
dapat menyerang R1).
Konsep
gen-untuk-gen hanya ditemukan pada tumbuhan dengan bentuk ketahanan vertikal
(monogenik dan oligogenik) terhadap penyakit tertentu. Ahli pemulia tumbuhan
menggunakan konsep gen-untuk-gen setiap saat mereka akan menggabungkan gen
ketahanan yang baru ke dalam varietas yang diinginkan yang mana sebelumnya
varietas tersebut menjadi rentan terhadap strain patogen yang baru. Untuk
penyakit tertentu pada beberapa jenis tanaman, gen ketahanan baru harus di
dapatkan dan di introduksikan ke dalam varietas yang tua dengan frekuensi yang
cukup sering, walaupun dari gen sebelumnya telah memberiikan ketahanan bagi
varietas tersebut selama bertahun-tahun. Konsep gen untuk gen mungkin juga
berlaku untuk ketahanan horizontal (poligenik atau umum), namun demikian belum
ada bukti lebih jauh serta bukti yang mengendalikan virulensi poligenik pada
patogen.
2. HYPERSENSITIVE
RESPON (HR)
Respons Hipersensitif (Hypersensitive Response) terjadi
pada tanaman sebagai reaksi atas infeksi cendawan, virus dan bakteri patogen
tanaman. Respons hipersensitif adalah kompleks pertahanan tanaman yang
merupakan tanggapan awal dalam bentuk nekrosis dan terjadinya kematian sel
untuk membatasi pergerakan patogen. Informasi tentang HR dihasilkan melalui
penelitian beberapa tanaman berbeda yaitu Arabidopsis, barley, kacang tanah,
ketimun, lettuce dan tomat dalam hubungan respons terhadap virus, bakteri,
cendawan atau keseluruhan bagian molekul elisitor yang berbeda. HR telah
diteliti pada seluruh bagian tanaman maupun pada kultur sel. Berdasarkan
informasi yang tersedia dari berbagai penelitian mungkin secara bijak dapat
diambil generalisasi terhadap penyebab yang sama sebagai gambaran umum HR.
HR yang terjadi ketika sel bakteri patogen diintroduksi ke dalam
jaringan tanaman bukan inang seperti patogen Pseudomonas syringae pv. pisi
pada tembakau, dimana saat strain patogen avirulen diintroduksi ke dalam
inang yang memiliki gen resistensi mayor ternyata efektif melawan isolat yang
berhubungan, misalnya isolat ras 1 dari patogen buncis P.s. pv. phaseolicola
pada Phaseolus vulgaris cv. Red Miexican. Klement (1971 dan 1986)
mendefinisikan tiga fase dalam HR terhadap bakteri patogen :
a. Fase Induksi ; terjadi
ketika terdapatnya bakteri pada ruang antar sel. Gen avirulen (Avr) diaktivasi
dalam bakteri dan produk gen avr diantarkan langsung ke dalam sel inang oleh
mekanisme sekresi khusus.
b. Fase Laten ; terjadi
ketika tempat keberadaan bakteri tidak meluas, tidak terlihat gejala
makroskopis pada fase ini, tetapi terjadi perubahan fisiologi sel tanaman.
Ekspresi gen inang dan perubahan fisiologi dapat dilihat dengan mikroskop
elektron. Pada fase ini kerusakan membran sel tengah berhubungan dengan
kejadian HR.
c. Fase Presentase atau
collaps ; terjadi ketika sel inang pada daerah yang terinokulasi mengalami
kolaps dan mengering, menjadikan warna keperakan kemudian diikuti oleh warna
kekuningan.
Rentang waktu dari ketiga fase tersebut berhubungan dengan kombinasi
inang-patogen dan kondisi lingkungan. Contoh: tembakau bereaksi sangat cepat
dan sel inang mengalami collaps terjadi 6-8 jam setelah infiltrasi ke dalam
ruang antar sel. Berbeda halnya ketika buncis Franc diinokulasi dengan ras
avirulen P.s. pv. phaseolicola, sel mengalami kolaps terjadi
18-24 jam setelah inokulasi. Urutan fase didefenisikan melalui percobaan
penggunaan antibiotik. Infiltrasi streptomisin atau penghambat lainnya dari
protein sintesis terjadi pada fase induksi atau tertundanya sel kolaps terjadi
pada fase presentasi. Setelah periode tertentu dari waktu streptomycin tidak
banyak terjadi sel kolaps dan ini didefinisikan sebagai fase induksi yang
panjang. Periode induksi pada buncis yang diinokulasi P. s. Pv. phaseolicola
berkisar 4 jam. Hal tersebut sekarang diketahui bahwa keharusan untuk
bakteri hidup selama periode induksi adalah untuk mengekspresi gen bakteri
avirulen (avr) dengan hipersensitif respons dan patogenesitas (hrp)
untuk mengatur pergerakan kejadian yang berhubungan dengan kolapsnya sel inang
pada 14-20 jam terakhir.
Periode setelah induksi disebut dengan fase laten sebab tidak
terlihat gejala makroskopis yang terjadi. Perubahan ultrastruktur telah diamati
dan ion mengalami kebocoran keluar dan masuk ke dalam ruang antar sel sehingga
permeabilitas membran sel tanaman meningkat. Fenomena ini diinterpretasikan
sebagai indikator meningkatnya kerusakan membran di dalam sel yang mengalami HR. Penggunaan antibiotik termasuk blasticidin S atau cycloheximide
yang menghambat sintesis protein inang selama bagian awal fase laten
penting untuk kolapsnya sel inang pada fase presentasi.
Fungsi Respon
Hipersensitif
a.
Mengikat Patogen
Reaksi hipersensitif yang muncul berkorelasi erat dengan ketahanan
tanaman terhadap patogen, tetapi bagian mana dari sel yang mengalami kematian
masih dalam perdebatan. Suatu hipotesis bahwa kematian sel tanaman adalah
respons langsung untuk membatasi pertumbuhan dan penyebaran patogen bahkan
kematian sel-sel disekitar tempat infeksi patogen. Korelasi ini telah ditemukan
pada sel-sel kentang yang mengalami kematian menjadi tahan terhadap
Phytophthora infestans yang menggunakan haustoria untuk menginfeksi dan
mematikan sel tanaman. Kematian sel yang cepat mempengaruhi plasmodesmata
melalui perpindahan virus tanaman dari satu sel ke sel lain dan kandungan sel
akan mengalami perubahan oleh bakteri dalam waktu yang panjang di dalam
jaringan tanaman.
Beberapa
patogen menghambat kematian sel dengan
mengkolonisasi jaringan inang. Ini menunjukkan pentingnya kematian sel untuk
ketahanan inang. Pada kasus tanaman tahan tidak terjadi kematian sel mungkin
mekanisme ketahanan terhadap penyakit tidak direspons oleh tanaman. Contoh
studi ketahanan tanaman tomat terhadap strain Cladosporium fulvum (Cf)
menunjukkan bahwa kematian sel HR hanya terdeteksi melalui ketahanan terhadap Cf-2-mediated.
Hal Ini mirip dengan kematian sel tanaman yang dimutasi oleh DND1 menjadi rusak
akibat HR tetapi mampu menahan P. syringae avirulen.
Ini menunjukkan bahwa HR tidak terlalu diperlukan untuk ketahanan tetapi
proporsi kecil sel-sel yang diinokulasi melalui HR cukup untuk menginisiasi
ketahanan.
b. Mengaktivasi gen-gen ketahanan yang berperan dalam pertahanan lokal
tanaman
Pembentukan kematian sel HR
seiring dengan aktivasi mekanisme pertahanan lokal di dalam sel yang mengalami
kematian di sekitar jaringan yang infeksi. Ekspresi gen-gen pertahanan, contoh:
gen yang mengkode PR protein atau enzim yang terlibat dalam jalur fenilpropanoid
yang terinduksi cepat oleh patogen yang menginduksi HR. Protein yang mengkode
mungkin berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap patogen karena
kematian sel yang cepat akibat dari pelepasan senyawa pertahanan
protein-related dan metabolisme beracun (toksik) pada apoplas di lokasi bakteri
atau cendawan patogen berada.
3. REACTIVE OXYGEN SPECIES BURST
Spesies
oksigen reaktif (bahasa Inggris: Reactive Oxygen Species, ROS) adalah senyawa organik yang
memiliki gugus fungsional dengan atom
oksigen yang bermuatan elektron lebih.
ROS terbentuk secara alami, terutama pada kompleks rantai pernapasan mitokondria,
dalam aktivitas selular yang normal maupun perkembangan suatu patologi.
Alkalisasi
pada matriks mitokondria maupun pada sitoplasma akan menstabilkan radikal
semikuinon yang merupakan cikal bakal ROS. Sedangkan nilai pH matriks yang
tinggi akan memacu radikal bebas, meskipun ΔpH=0 oleh karena
stimulasi nigerisin. Produksi ROS akan menurun tanpa adanya ortofosfat ketika
matriks dipenuhi oleh senyawa karbonat maupun bikarbonat. Sehingga menyebabkan
pH ke atas nilai 7. Tingginya rasio ROS disebut stres oksidatif.
Reactive Oxygen Species
(ROS) merupakan oksidan yang sangat reaktif dan mempunyai aktivitas yang
berbeda. Dampak negatif senyawa tersebut timbul karena aktivitasnya, sehingga
dapat merusak komponen sel yang sangat penting untuk mempertahankan integritas
sel. Setiap ROS yang terbentuk dapat memulai suatu reaksi berantai yang terus berlanjut
sampai ROS itu dihilangkan oleh ROS yang lain atau sistem antioksidannya.
Produksi
ROS (reactive oxygen spesies) dan asam salisilat atau faktor-faktor lain
yang mengakibatkan sel-sel bunuh diri dalam memberi sinyal ketahanan dan
ekspresi gen-gen pertahanan di sekeliling jaringan terinfeksi yang membentuk
struktur sekunder untuk menghalangi penyebaran patogen. Kematian sel ini
memberii sinyal secara langsung untuk meng-offkan sinyal untuk aktivasi
amplifikasi transkripsi dan melindungi sel-sel yang tidak terinfeksi dari
dismutasi superoksida, polyubiquitin, glutation S- transferase atau glutation
peroksidase.
ROS
diproduksi di tanaman dan organisme aerobik lainnya sebagai akibat dari reduksi
O2 selama proses sejumlah metabolisme normal. Reduksi dari reaksi
oksigen intermediet yang tinggi dan berbahaya ini dapat merusak molekul dan
struktur biologi dan telah dianggap oleh banyak orang sebagai bahan sampingan
yang tidak diinginkan dari suatu metabolisme. Awalnya pada tanaman berkembang sistem
antioksidan yang terdiri dari enzim antioksidan dan molekul antioksidan kecil
sebagai sarana perlindungan terhadap produksi ROS yang berlebihan.
Aktivasi
ROS diduga merupakan konsekuensi utama kerusakan yang diproduksi selama
infeksi. Namun, akumulasi yang berlebihan dari ROS tersebut mungkin akan meningkatkan
kerentanan tanaman atau menyebabkan pertahanan yang tidak terkontrol dengan
menyebarkan lesio kematian sel yang dapat membunuh tanaman, pengaturan yang ketat
pada produksi ROS dan eliminasi melalui enzimatik dan nonenzimatik antioksidan
telah memungkinkan tanaman untuk menggunakan senyawa reaktif ini sebagai fitur
penting dari MTI dan ETI.
Respon
pertahanan telah dilaporkan terkait dengan produksi ROS yang termasuk
pembunuhan patogen langsung, aktivasi kematian sel inang (HR), dan kontribusi
terhadap penguatan dinding sel (Bolwell dan Daudi, 2009). Selain itu, data yang
muncul membahas peran ROS sebagai sinyal dalam MTI dan ETI (Torres et al,
2006;. Van Breusegem et al,. 2008) serta kontribusinya untuk memberikan lingkungan
redoks yang sesuai yang diperlukan untuk mengaktifkan pertahanan (Tada et al.,
2008).
4. PROGRAM CELL DEATH
(PCD)
Program kematian sel atau Program
Cell Death (PCD) adalah suatu bagian integral dari banyak aspek pada
perkembangan hewan dan tumbuhan dan secara selektif mengeluarkan sel yang tidak
dikehendaki. Program bunuh diri sel diduga juga diaktivasi oleh respons
terhadap stimulan abiotik dan biotik termasuk juga stress lingkungan atau
patogen. PCD juga dideskripsi dengan menggunakan kriteria secara sitologi,
agregasi kromatin, kondensasi sitoplasma, nukleus, dan fragmentasi sitoplasma
serta nukleolus ke dalam membran-bound vesikel. Bagian-bagian ini secara frekuensi
disempurnakan disebut DNA laderring, pembelahan kromatin pada situs inter
nukleosomal menghasilkan fragmen DNA yang multimer kira-kira 180 bp. Kata
Apoptoksis berasal dari bahasa Yunani Apo, dari jauh; ptosis, jatuh,
diintroduksi oleh J.F.R. Kerr dan koleganya untuk membedakan tipe ini terhadap
PCD dari kematian sel nekrotik pada hewan. Kematian sel nekrotik adalah hasil
dari agen sitotoksik dosis tinggi atau luka keras termasuk trauma dan ischemia
(luka yang disebabkan reoksigenasi jaringan setelah hipoksia) dan
dikarakterisasi oleh adanya pembengkakan sel dan organel dan pecahnya membran.
Apoktosis dan nekrosis telah terlihat secara morfologi dan secara mekanis pada
kematian sel hewan. Berbeda dengan penyakit tumbuhan semua sel atau jaringan
yang mati secara tradisional disebut nekrosisi, terlepas dari mekanisme
penyebab kematian sel.
Sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa apoptosis dan nekrosis
memainkan peran dalam sitologi dan biokimia kematian sel pada kisaran luas.
Bermacam-macam pemicu kematian sel telah diinduksi melalui apoptosis dan
nekrosis, yaitu seri protein spesifik terhadap apoptosis seperti caspases
(cystein protease mirip dengan interleukin-1β converting enzyme (ICE))
dan Bcl-1 (regulator prototipe kematian sel mamalia) juga mendukung nekrosis.
Pola kematian sel (morfologi apoptosis dan nekrosis) ditentukan oleh ATP
interseluler. Kehilangan ATP sering bersama dengan peningkatan level ROI dan
peroksidasi lemak dan mengalihkan program kematian sel dari apoptosis ke
nekrosis.
Program kematian sel dibagi ke dalam 3 fungsi yang berbeda
tahapannya: 1). fase perangsang bergantung pada fase induksi 2); sebuah fase
dimana efektor merangsang kematian untuk selanjutnya diterjemahkan ke pusat
koordinasi, 3). Perubahan selama fase degradasi umumnya dipertimbangkan untuk
mendefinisikan PCD (morfologi apoptotik dari nukleus dan fragmentasi chromatin)
menjadi jelas.
Bukti terbaru jelas bahwa pentingnya signal dari mitokondria saat
fase apoptosis karena sel-bebas apoptosis memerlukan mitokondria yang fungsinya
mensuplasi energi. Apoptosis sebagai agen yang menginduksi uncoupling transpor
elektron untuk meghasilkan ATP akan menyebabkan menurunnya potensial
transmembran mitokondria (Δψm) dan produksi ROI. Peristiwa ini dapat dikaitkan
dengan sebuah fenomena yang terkenal transisi permeabilitas mitokondria (PT).
Menurut Van Doom et al. (2011), klasifikasi kematian sel
tanaman dibagi menjadi 2 klas yaitu :
a). Kematian sel vakuola (vacuola cell death)
Kematian sel vakuola adalah
manifestasi menurunnya isi sitoplasma secara gradual dan meningkatnya isi sel
yang ditempati oleh lisis vakuola. Lisis vakuola adalah mekanisme utama
degradasi di sitoplasma melalui pembongkaran muatan sel saat berlangsung
kematian sel vakuola.
Mikrograf elektron
memperlihatkan invaginasi dari membran vakuola (tonoplas) dan
fusi vesikel di bagian vakuola diikuti oleh pengangkutan dan degradasi bagian
sitoplasma. Proses ini menyerupai autophagi secara mikro maupun makro. Tahapan
akhir dari pelaksanaan kematian sel vakuola adalah pecahnya tonoplas dan
melepaskan enzim hidrolase ke luar vakuola.
Kerusakan ini berlangsung sangat cepat
di dalam sitoplasma dan dalam beberapa kasus tertentu sel-sel ini ditarik ke
dinding sel. Morfologi lain yang berlangsung saat kematian sel vakuola yaitu
pembentukan cables actin, pembukaan selubung inti dan segmentasi inti sel.
Mitokondria dan organel lain, misalnya membran plasma (tonoplas) dan fusi
vesikel di bagian vakuola diikuti oleh pengangkutan dan degradasi bagian
sitoplasma. Proses ini menyerupai autophagi secara mikro maupun makro.
Tahapan akhir dari pelaksanaan kematian
sel vakuola adalah pecahnya tonoplas dan melepaskan enzim hidrolase ke luar vakuola.
Kerusakan ini berlangsung sangat cepat di dalam sitoplasma dan dalam beberapa
kasus tertentu sel-sel ini ditarik ke dinding sel. Morfologi lain yang
berlangsung saat kematian sel vakuola yaitu pembentukan cables actin, pembukaan
selubung inti dan segmentasi inti sel. Mitokondria dan organel lain, misalnya
membran plasma.
b). Kematian sel nekrosis (necrotic cell death)
Nekrosis dari sel-sel didefinisikan
secara morfologi apoptotik atau autophagic, awalnya sering ada kehilangan isi
sel keluar, organel bengkak (awalnya pecah membran plasma dan kehilangan isi
sel secara intraseluler). Kematian sel dengan karakteristik seperti di atas
terjadi meluas di tanaman serta diinduksi melalui stres abiotik dan pengenalan
patogen saat berlangsungnya HR. Hal ini juga ditemukan dalam sel-sel yang
dirubah oleh patogen necrotrop. Namun dalam kasus HR, nekrotik sering terjadi
bersamaan dengan kematian sel vakuola. Sitologi yang menandai perbedaan
nekrosis tanaman terhadap kematian sel vakuola termasuk membengkaknya mitokondria.
Dalam literatur lain menyebutkan
apoptosis merupakan suatu bentuk kematian sel yang didesain untuk menghilangkan
sel-sel host yang tidak diinginkan melalui aktivasi serangkaian peristiwa yang
terprogram secara internal melalui serangkaian produk gen. Adapun terjadinya
penyebab diatas sebagai berikut:
1) Selama
proses perkembangan
2) Sebagai
suatu mekanisme homeostatik untuk memelihara sel di jaringan.
3) Sebagai
suatu mekanisme pertahanan seperti reaksi imun
4) Apabila
sel-sel dihancurkan oleh penyakit atau agent-agent yang berbahaya.
5) Proses
Penuaan.
5. EFFECTOR TRIGGERED IMMUNITY
ETI
merupakan cabang dari sistem deteksi kekebalan pada tanaman yang diaktifkan
oleh kehadiran patogen. ETI merupakan bentuk respon kekebalan yang sangat kuat
yang bergantung pada gen R, dan diaktifkan oleh strain spesifik dari spesies
patogen. Seperti PTI, banyak contoh yang spesifik mengenai ETI secara jelas
menentang bagian dari definisi umum PTI / ETI. Namun, sebagian besar sistem
kekebalan tanaman membawa repertoar 100-600 gen R yang berbeda yang memediasi
resistensi terhadap berbagai virus, bakteri, jamur, oomycete dan nematoda
patogen, dan terhadap beberapa serangga.
Banyak
gen R tetapi tidak semuanya menyandi NB-LRR protein
(nucleotide-binding/leucine-rich repeat). Tanaman dengan mekanisme ETI sering
menyebabkan respon hipersensitif - respon kematian sel terprogram.
Sebagai
sumber nutrisi yang melimpah, secara alami tanaman selalu dieksploitasi mikroba
yang ada disekelilingnya. Oleh karena itu salah satu elemen penting dalam
evolusi tanaman harus mengembangkan ketahanan yang efektif bagi dirinya untuk
menghadapi serangan patogen yang mengancam bagi kelangsungan hidupnya. Beberapa
mikroba patogenik mampu mengatasi barier ketahanan tanaman sehingga berhasil
menginfeksi dan mengkolonisai inangnya. Sebaliknya patogen yang mampu
beradaptsi harus mampu mengatasi ketahanan tnaman sehingga memungkinkan terjadinya
infeksi pada tanaman inang.
Kekebalan
tanaman terhadap patogen dapat diinduksi
dengan tanggapan relative Patogen or Microbe associated molecular
pattern (PAMP or MAMPS) melalui receptor yang ada di permukaan sel. PAMPs
merupakan molekul mikroba yang dikenali oleh tanaman inang sebagai nonself signal. Beberapa mikroba patogenik
mampu mengirimkan protein efektor ke tanaman inang untuk meningkatkan
virulensi, seringkali dengan menghambat PAMP-Triggered Immunity (PTI). Beberapa
dari effektor ini dikenali oleh corresponding plant disease resistance proteins
pada cutivar tertentu untuk mengaktifkan Effector Triggered Imunity (ETI).
Umumnya ETI (tapi tidak selalu) menghasilkan reaksi Hypersensitif (HR) yang dicirikan
dengan kematian sel. Interaksi antara tanaman dan patogen dikategorikan menjadi
kompatibel, inkompatibel dan interaksi nonhost. Pada interaksi inkompatibel
terjadi pada kultivar spesifik dan ditandai dengan adanya ETI. Interaksi
kompatibel tidak terjadi proses ETI. Interaksi nonhost berarti interaksi antara
species tanaman dan patogen yang nonadapted. Beberapa efektor dari nonadapted patogen
juga memicu ETI dan menginduksi HR.
6. PHATOGENESIS RELATED
Patogenesis
Related (PR)-Protein, merupakan protein spesifik yang terdapat pada tanaman dan
memiliki fungsi serta peranan untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan
tanaman, khususnya dalam menangkal serangan dari mikroorganisme/virus patogen
yang berbahaya bagi tanaman tersebut. Patogenensis-related protein juga
diartikan sebagai kelompok protein karakteristik dari tanaman yang terakumulasi
setelah adanya infeksi atau perlakuan elisitor. Ekspresi dari gen-gen yang
mengkode PR-protein dan akumulasi dari protein-protein ini dapat dianggap
sebagai bagian dari mekanisme pertahanan tanaman. PR-protein adalah kelompok
protein yang terlibat dalam mekanisme pertahanan tanaman baik pada keadaan
infeksi antara tanaman dan patogen yang sesuai (compatible) maupun yang tidak.
Setiap
tanaman akan memberi respon yang spesifik apabila terkena serangan (invasi)
mikroorganisme patogen dari luar, dengan jalan meningkatkan sintesis
PR-Proteinnya, untuk menangkal serangan patogen tersebut. Atas dasar itu,
pertumbuhan tanaman akan baik dan terhindar dari berbagai penyakit tanaman,
serta memiliki produktivitas yang tinggi bilamana tanaman tersebut dirangsang
agar mensintesis dan meningkatkan kandungan PR-Proteinnya. Dengan demikian,
bilamana kandungan PR-protein pada tanaman sudah tinggi, maka tentunya tanaman
tersebut dapat menangkal setiap mikrorganisme patogen yang membahayakan
kehidupannya (Soedjanaatmadja, 2008).
Sejumlah
PR-protein juga dapat terinduksi sintesisnya oleh berbagai faktor antara lain
stress kekeringan, salinitas, pelukaan, logam berat, oleh perlakuan elisitor
endogen maupun eksogen; dan oleh perlakuan zat pengatur tumbuh tanaman. Kebanyakan
PR protein dalam spesies tanaman adalah asam yang mudah larut, berat molekul
rendah, dan protein protease-tahan. PR protein tergantung pada titik
isoelektriknya, apakah protein asam atau basa tetapi memiliki fungsi yang sama.
Kebanyakan PR protein asam terletak di ruang-ruang antar sel, sedangkan PR
protein basa sebagian besar terletak di vakuola. PR Protein awalnya dibagi
menjadi 5 famili berdasarkan massa molekul, titik isoelektrik, serta lokalisasi
dan aktivitas biologisnya. Pengelompokan PR-protein ke dalam 5 kelas protein meliputi
PR-1, PR-2, PR-3, PR-4 dan PR-5.
1) PR-1
PR-1 protein terakumulasi pada tingkat
yang tinggi setelah terjadinya infeksi patogen pada tanaman. PR-1 protein
bersifat anticendawan yang diekspresikan pada tanaman transgenik dan juga pada
uji aktivitas anticendawan secara in vitro dari ekstrak PR-1 protein.
PR-1 telah ditemukan terekspresi antara
lain pada padi, gandum, jagung, tembakau, Arabidopsis thaliana, dan barley.
PR-1 protein memiliki aktivitas anticendawan pada konsentrasi rendah terhadap
sejumlah Uromyces fabae, Phytophthora infestans, and Erysiphe graminis
(Niderman et al. 1995). PR-2 Protein (β-glucanase) memiliki aktivitas
β-endoglucanase yang mampu menghidrolisis ikatan 1,3 β-glucan yang ada pada
dinding sel cendawan, terutama pada ujung hifa cendawan sehingga menyebabkan
ujung hifa menjadi lemah, lisis dan mati.
2) PR-2
PR-2 protein dikelompokkan ke dalam 3
kelas berdasarkan runutan residu asam aminonya (Agrawal et al. 2000; Cote et
al. 1991; Leah et al. 1991). Glukanase Klas I merupakan protein yang bersifat
basic yang ditemukan pada vakuola tanaman dengan berat molekul sekitar 33 kDa.
Sedangkan glukanase kelas II dan III merupakan protein yang bersifat acidic dan
ditemukan ekstraseluler dengan berat molekul sekitar 36 kDa, serta aktif pada
konsentrasi sekitar 50 µg/ml. PR-2
protein menghambat cendawan Rhizoctonia solani yang menyerang tanaman dan
Candida albicans serta Aspergillus fumigatus yang menginfeksi manusia.
Aktivitas anticendawan PR-2 diketahui berdasarkan hasil uji in vitro dan hasil
uji overekspresi overekspresi pada tanaman transgenik.
PR-2 Protein (β-glucanase) memiliki
aktivitas β-endoglucanase yang mampu menghidrolisis ikatan 1,3 β-glucan yang
ada pada dinding sel cendawan, terutama pada ujung hifa cendawan sehingga
menyebabkan ujung hifa menjadi lemah, lisis dan mati. PR-2 protein
dikelompokkan ke dalam 3 kelas berdasarkan
runutan residu asam aminonya (Agrawal et al. 2000; Cote et al. 1991;
Leah et al. 1991). Glukanase Klas I merupakan protein yang bersifat basic yang
ditemukan pada vakuola tanaman dengan berat molekul sekitar 33 kDa. Sedangkan
glukanase kelas II dan III merupakan protein yang bersifat acidic dan ditemukan
ekstraseluler dengan berat molekul sekitar 36 kDa, serta aktif pada konsentrasi
sekitar 50 µg/ml. PR-2 protein menghambat cendawan Rhizoctonia solani yang menyerang
tanaman dan Candida albicans serta Aspergillus fumigatus yang menginfeksi
manusia. Aktivitas anticendawan PR-2 diketahui berdasarkan hasil uji in vitro
dan hasil uji overekspresi pada tanaman transgenik.
Kitinase sudah diisolasi dari bakteri,
cendawan, dan tanaman (tembakau, timun, kacang-kacangan dan biji-bijian)
(Selitrennikof 2001). Kitinase mempunyai aktivitas anticendawan terhadap
Trichoderma reesei, Alternaria solani, Alternaria radicina, Fusarium oxysporum,
Rhizoctonia. solani, Guignardia bidwellii, Botrytis cinerea, and Coprinus
comatus. Cara kerja kitinase dalam menghambat pertumbuhan cendawan adalah
dengan mendegradasi polimer kitin sehingga melemahkan dinding sel cendawan.
Kitinase dan glukanase dapat bekerja secara sinergis untuk menghambat
pertumbuhan cendawan berdasarkan hasil uji secara in vitro dan uji overekspresi
dalam tanaman transgenik.
3) PR-3
Protein
dari famili PR-3 merupakan endochitinases, yang menghidrolisis β-1,4-linkages antara
N-acetylglucosamines dari kitin, melepaskan oligosakarida dari dinding sel banyak
jamur (Boller, 1993). Kitin bukanlah komponen alami sel tumbuhan namun hadir
dalam dinding sel kebanyakan jamur dan kutikula serangga (Stintzi et al.,
1993).
Pembagian
chitinases ke dalam berbagai kelas (I-VII) terutama didasarkan pada ada atau
tidak adanya domain kaya sistein dan perpanjangan C-terminal yang memberikan
sinyal untuk penargetan vacuolar. Sistein kaya domain diyakini bagian PR-3 yang
menargetkan ikatan kitin terhadap patogen yang mengandung kitin.
4) PR-4
PR-4 (chitin-binding) protein merupakan
protein yang mengikat kitin, memiliki berat molekul 13-14.5 kDa, dan terdiri
atas 2 klas. PR-4 protein klas 1 menyerupai hevein dan termasuk ke dalam
superfamili chitin-binding lectin. Sedangkan PR-4 protein klas II tidak
memiliki domain chitin-binding. PR-4 protein telah berhasil diisolasi dari
tanaman kentang, tembakau, barley dan tomat. Mekanisme penghambatan pertumbuhan
cendawan oleh PR-4 protein diduga dihasilkan dari proses ikatan PR-4 protein
terhadap senyawa β-chitin melalui mekanisme yang belum sepenuhnya dapat
dijelaskan, sehingga mengakibatkan terganggunya polaritas sel dan terhambatnya
pertumbuhan cendawan. Sementara mekanisme penghambatan pertumbuhan cendawan oleh
PR-4 protein klas II belum sepenuhnya dapat dijelaskan.
5) PR-5
Protein yang berasal dari famili PR-5
juga dikenal sebagai taumatin seperti protein karena mereka menunjukkan
kesamaan urutan. PR-5 protein tidak termasuk enzim tetapi merupakan protein
yang bersifat anticendawan dengan merusak membran fungi. PR-5 protein telah
berhasil diisolasi dari jagung dan disebut sebagai zeamatin serta dari tembakau
dan disebut sebagai osmotin. Osmotin mempunyai bobot molekul 24 kD,
terakumulasi dalam vakuola selama adaptasi sel tembakau (Nicotiana tabacum var.
Wisconsin 38) terhadap cekaman osmotik (Singh. et al, dalam Cheong et al,
1997). PR-5 protein juga telah berhasil dimurnikan dan dikarakterisasi dari
daun labu (pumpkin). PR-5 protein dari
labu tersebut mempunyai bobot molekul 28 kD
dan dapat menghambat pertumbuhan hifa Fusarium oxysporum dan Neurospora
crassa dalam uji in vitro.
Saat
ini PR-protein dikelompokkan menjadi 17 famili menurut sifat dan
fungsi, termasuk β-1,3-glukanase, chitinases, thaumatin seperti protein, peroksidase,
ribosom-inaktifkan protein, pertahanan, thionins, protein mentransfer lipid nonspesifik,
oksalat oksidase, dan oksalat-oksidase-seperti protein. Di antara PR protein
ini, chitinases dan β-1,3-glukanase adalah dua enzim hidrolitik yang penting yang
melimpah pada banyak spesies tanaman setelah infeksi oleh berbagai jenis
patogen. Jumlah tersebut secara signifikan meningkatkan dan memainkan peran
utama reaksi pertahanan terhadap jamur patogen melalui penghancuran dinding
sel, karena kitin dan β-1,3-glukan juga merupakan komponen struktural utama
dari dinding sel jamur patogen. β-1,3-glukanase tampaknya terkoordinasi
diungkapkan bersama dengan chitinases setelah infeksi jamur. Ko-induksi ini adalah dua dari enzim hidrolitik yang telah
dijelaskan pada banyak spesies tanaman, termasuk kacang, kacang, tomat,
tembakau, jagung, kedelai, kentang, dan gandum.
REFERENSI
bisa menghubungi penulis ^_^ di https://www.facebook.com/Dandazy
mantap, artikelnya bagus skali, trims
BalasHapusterima kasih.. masih belajar mas.. mhon krisar nya ya..
BalasHapusmaaf mau bertanya bedanya pengendalian dengan menggunakan ketahanan terinduksi sama mengendalikan patogen dengan pestisida nabati apa ya?
BalasHapustulisan anda sangat membantu dalan pemahaman mengenai SAR dan ISR, yang ingin saya tanyakan acuan pustakanya apa saja? dikerenakan penelitian saya juga berhubungan dengan SAR dan ISR
BalasHapusmohon bantuannya
tulisan anda sangat membantu dalan pemahaman mengenai SAR dan ISR, yang ingin saya tanyakan acuan pustakanya apa saja? dikerenakan penelitian saya juga berhubungan dengan SAR dan ISR
BalasHapusmohon bantuannya
Apa penebalan dinding sel tumbuhan yang disebabkan oleh peranan Kalium apa termasuk dalam induksi ketahanan atau dikelompokkan dalam ketahanan apa ?
BalasHapus