Laman

Sabtu, 17 Mei 2014

EPIDEMIOLOGI

FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN
YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN EPIDEMIK

Rachmad Saputra

Program Studi S2 Fitopatologi
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada


PENDAHULUAN
Faktor lingkungan secara telah dianggap memiliki peranan besar pada perkembangan penyakit. Bahkan jika inang rentan dan patogen yang virulen hadir di sebuah wilayah tertentu, situasi umum ketika petani tidak memiliki pilihan selain untuk menanam inang tertentu, penyakit yang serius tidak akan terjadi kecuali lingkungan sesuai dengan perkembangannya. Ini mencakup baik lingkungan udara dan tanah (edafis). Langkah-langkah pengendalian penyakit  dengan teknik budidaya dan kimia biasanya melibatkan beberapa manipulasi lingkungan untuk membuatnya kurang menguntungkan bagi perkembangan penyakit (Keane and Kerr, 2014).
Faktor lingkungan dapat menghambat patogen dengan cara mengurangi kemampuan hidup patogen. Hal ini telah digunakan sebagai metode utama pengendalian penyakit daun pada gandum di Australia. Diawali dengan buah karya William Farrer di akhir tahun 1800an, kultivar gandum Australia telah dikembangkan untuk diadaptasi ke daerah yang lebih kering di Australia. Lingkungan ini kurang menguntungkan bagi perkembangan penyakit  karat daun dan  penyakit embun tepung yang menginfeksi gandum di Eropa. Embun tepung yang disebabkan oleh Blumeria graminis, terjadi pada tanaman gandum di bagian yang basah di Australia (misalnya daerah pesisir), tetapi belum pernah menjadi masalah dalam kering (Keane and Kerr, 2014).
Perlu diketahui bahwa sebagian besar penyakit tanaman yang terjadi pada banyak jenis tanaman maupun lahan pertanian biasanya tidak berkembang menjadi epidemi berat dan meluas. Tanaman inang rentan dengan patogen virulen yang terdapat pada saat yang sama dalam suatu areal tidak selalu menjamin terjadinya infeksi berat, tetapi dipengaruhi oleh serangkaian faktor-faktor yang mengendalikan lingkungan tempat epidemi berkembang. Lingkungan dapat mempengaruhi tanaman inang dalam bentuk: ketersediaan, tingkat pertanaman, sukulensi, kerentanan genetik dan lain-lain. Patogen dapat dipengaruhi lingkungan dalam bentuk : daya tahan hidup, laju reproduksi, sporulasi, perkecambahan spora, arah penyebaran, jarak penyebaran dan lain-lain. Lingkungan mungkin juga mempengaruhi jumlah dan aktivitas vektor.
Keterkaitan antara faktor lingkungan dengan perkembangan suatu penyakit tanaman sangat jelas terlihat seperti telah diaparkan di atas, dimana tanaman tumbuh pada suatu media tumbuh dan pada suatu ruang atau wilayah yang membutuhkan cahaya matahari, kelembaban dan udara serta berhubungan erat pula dengan keberadaan organisme lainnya. Dengan demikian, perkembangan penyakit tanaman membutuhkan unsur lingkungan berupa komponen ruang, lingkungan fisik, lingkungan fisik-kimia dan lingkungan biotik serta waktu, baik secara langsung maupun tidak langsung (Nurhayati, 2002).

FAKTOR LINGKUNGAN FISIK
Kelembaban
Kondisi cuaca memiliki dampak yang besar pada perkembangan penyakit dan telah intensif dipelajari sebagai prediktor wabah penyakit. Embun (ketersediaan air) merupakan faktor lingkungan yang paling penting yang mempengaruhi wabah penyakit yang disebabkan oleh jamur dan bakteri. Hal ini penting juga untuk nematoda Anguina spp. yang naik ke tanaman melalui film air pada batang dan memarasiti jaringan tanaman yang berada di atas tanah. Istilah kelembaban meliputi curah hujan (durasi dan intensitas), kelembaban relatif, embun dan basahnya daun (durasi dan intensitas) serta percikan air hujan dan air yang akan memberi pengaruh pada penyebaran propagul patogen juga (Keane and Kerr, 2014).
Kelembaban yang berlebihan, berlangsung lama atau terjadi berulangkali, baik dalam bentuk hujan, embun atau kelembaban relatif merupakan faktor yang sangat membantu perkembangan epidemi penyakit. Penyakit yang dipengaruhi kelembaban misalnya penyakit yang disebabkan oleh jamur (bercak daun, hawar, embun tepung, karat, antraknose), bakteri (bercak, hawar, busuk), dan nematoda.
Kelembaban mempengaruhi pertanaman tanaman inang menjadi sukulen dan rentan, meningkatkan sporulasi fungi dan perbanyakan bakteri. Kelembaban memberi kesempatan kepada banyak jenis fungi untuk menghasilkan spora dan memunculkan bakteri ke permukaan tubuh inang. Kelembaban juga memberi peluang spora berkecambah. Zoospora fungi, sel bakteri dan nematoda akan berpindah tempat karena adanya air atau kelembaban yang berlebihan. Oleh karena itu jika kejadian tersebut berulang-ulang atau terjadi dalam waktu lama maka akan memperlancar terjadinya epidemi.
Kelembaban rendah dalam beberapa hari, akan dapat mencegah terjadinya semua langkah-langkah perkembangan penyakit, sehingga epidemi terhambat atau terhenti. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh patogen soilborne (tular tanah), misalnya Fusarium dan Streptomyces lebih merusak di daerah kering dibanding di daerah lembab, tetapi jarang berkembang menjadi epidemi penting. Epidemi penyakit yang disebabkan oleh virus dan mikoplasma, pengaruh kelembaban lebih ke arak mempengaruhi aktivitas vektornya. Kelembaban yang sangat tinggi akan menurunkan aktivitas aphid, wereng dan serangga vektor lain (Agrios, 2005).
Kelembaban akan mempengaruhi perkembangan penyakit. Sumber kelembaban ini dapat berasal dari hujan, irigasi dan juga kelembaban relatif udara. Kelembaban sangat berpengaruh terhadap perkembangan penyakit, karena patogen umumnya memerlukan adanya lapisan air atau kelembaban tertentu untuk dapat melakukan infeksi atau penetrasi pada inangnya. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh jamur sangat memerlukan adanya lapisan air ataupun kelembaban untuk dapat bersporulasi dan germinasi spora, bahkan untuk pelepasan sporanya (Nurhayati, 2002).
Adanya air bebeas atau kelembaban relatif ini kebutuhannya tergantung pada patogen. Beberapa patogen memerlukan air bebas atau kelembaban udara relatif sepanjang hidupnya tetapi ada juga yang hanya memerlukan pada awal terjadi infeksi bahkan beberapa patogen tidak begitu menghendaki keadaan yang basah untuk perkembangnnya. Patogen yang memerlukan air bebas dan kelembaban yang tinggi sepanjang siklus hidupnya antara lain adalah Phythophthora infestan penyebab penyakit late blight pada tanaman kentang. Beberapa bakteri seperti Erwinia dan Pseudomonas memerlukan keadaan basah dan kelembaban yang cukup tinggi. Patogen tanah seperti Rhizoctonia dan Sclerotium juga memerlukan kelembaban tanah yang cukup tinggi walaupun jamur tersebut tidak menghendaki penggenangan (Nurhayati, 2002).
Kelembaban, baik sebagai kelembaban udara relatif maupun sebagai air bebas pada permukaan daun tanaman memegang peranan yang sangat penting dalam epidemi penyakit tanaman. Kelembaban yang tinggi akan mengakibatkan tanaman inang menjadi sukulen dan rentan terhadap patogen. Lama dan tingkat kelembaban serta kebasahan pada daun mempengaruhi produksi spora, perkecambahan spora, pertumbuhan dan daya tahan hidup patogen sehingga akan memperluas tingkat serangan patogen (Nurhayati, 2002).
Beberapa patogen akan mengakibatkan kerusakan lebih parah pada daerah yang cukup basah atau lembab. Pada keadaan tersebut perkembangan ras patogen menjadi lebih cepat. Kelembaban sangat berpengaruh C. cassiicola dimana pelepasan konidia maksimum berlangsung pada kelembaban sekitar 86% pada siang hari. Kelembaban optimum untuk perkecambahan spora berkisar 96-100% atau daun basah, sedangkan pada kelembaban rendah (kecil dari 90%) akan menghambat perkecambahan . pada kelembaban 50% tidak akan terjadi perkecambahan konidia setelah 24 jam. Miselia patogen juga akan tumbuh lebih baik pada kelembaban lebih dari 95% dan akan tertekan pertumbuhannya pada kelembaban lebih kecil dari 80% (Nurhayati, 2002).
Tingkat kebasahan daun adalah prediktor penyakit yang lebih akurat bila dibandingkan dengan periode curah hujan dan embun, meskipun ini sering menentukan periode kebasahan daun dan digunakan sebagai prediktor praktis penyakit karena lebih mudah untuk mengukur kebasahan daun. Seringkali kombinasi kebasahan daun  (karena hujan dan deposisi embun) dan suhu lingkungan sangat penting dalam menentukan proporsi propagul patogen yang menginfeksi inang. Kebanyak patogen tular  udara seperti jamur karat dan busuk daun kentang memerlukan periode tanpa air  pada permukaan daun untuk perkecambahan spora dan infeksi. Proses perkecambahan dan infeksi membutuhkan waktu dan karena itu tidak mengherankan bahwa durasi kebasahan daun memiliki pengaruh penting pada infeksi. Intensitas kebasahan daun umumnya jarang dipertimbangkan dalam studi perkembangan penyakit, tetapi banyaknya air yang terdiposit pada permukaan daun mungkin tidak akan lebih kondusif kondusif untuk menginfeksi dibandingkan pada kondisi air yang terdeposit ringan pada daun. Spora patogen tertentu (misalnya stripe rust pada gandum, Pucctnia striif ) mungkin tidak menjalin kontak yang efektif dengan daun yang terlalu basah. Secara umum, perkecambahan dan infeksi oleh embun tepung disukai lebih pada kondisi kelembaban tinggi daripada kebasahan daun (Keane and Kerr, 2014).
Periode kebasahan daun yang diperlukan untuk infeksi maksimal dipengaruhi oleh suhu. Seringkali periode kebasahan daun yang diperlukan untuk tingkat infeksi tertentu yang lebih lama dalam dingin daripada di cuaca hangat. Perkecambahan dan infeksi biasanya dipercepat oleh kondisi hangat. Sebuah contoh yang baik tentang bagaimana untuk menghitung pengaruh suhu pada penyakit tanaman terlihat dalam  banyak metode yang digunakan untuk memprediksi kejadian penyakit kudis pada apel (Venturta inaequatis). 'Mills Periode' menggabungkan data tingkat kebasahan daun dengan data suhu dan menunjukkan kapan  infeksi  mungkin terjadi. Waktu yang lebih lama dari kebasahan daun yang diperlukan untuk infeksi pada suhu rendah dari pada suhu tinggi (Tabel 1).

Tabel 1.   Beberapa contoh dari “Mills Periods” yang mengindikasikan pengaruh suhu pada periode kebasahan daun yang dibutuhkan untuk infeksi oleh Venturia inaequalis.

Mean temperature over period (oC)
5,6
7,2
10
11,7
15
Duration of leaf wetness (h)
30
20
14
11
10

Hujan
Hujan mempunyai peranan penting dalam perkembangan epidemi penyakit. Pada umumnya epidemi penyakit timbul pada awal musim hujan karena patogen memerlukan kelembaban tinggi dan kebasahan daun untuk perkembangannya. Hujan dapat membantu pembebasan atau penyebaran patogen melalui percikan hujan dan pencucian spora patogen dari permukaan tanah ataupun tanaman. Tetapi, hujan yang terjadi secara terus menerus sehingga tanah menjadi terlalu lembab bahkan hingga tergenang dapat mematikan atau menekan perkembangan patogen dan sebaliknya pada musim kemarau tanah menjadi kering sehingga patogen menjadi mati (Nurhayati, 2002).
Hujan merupakan faktor penting dalam mempengaruhi timbulnya serangan patogen. Seperti pada kasus terjadinya epidemi gugur daun karet Corynespora yang disebabkan oleh C. cassiicola di Sumatera Selatan dan Lampung pada tahun 2004di perkebunan karet yang terjadi pada kondisi cuaca agak lembab (terjadi hujan panas secara terus menerus). Di daerah yang mempunyai curah hujan yang merata sepanjang tahun atau di daerah dimana batas musim hujan dan musim kemarau tidak begitu jelas, C. cassiicola akan menimbulkan kerusakan yang berat dan tanaman akan meranggas sepanjang tahun. Namun di daerah dengan baras musim hujan dan kemarau yang jelas, maka serangan patogen dapat pula terjadi tetapi tanaman tidak mengalami kerusakan berat dan peranggasan sepanjang tahunnya (Situmorang dan Budiman, 1984).
Pada kasus kejadian penyakit lainnya, curah hujan juga dapat mempengaruhi perkembangan penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman Acasia crassicarpa. Hal tersebut dilaporkan oleh Ernawati (2007) di dalam laporan penelitiannya yang menunjukkan bahwa perkembangan penyakit hawar daun bakteri lebih cepat pada bibit yang ditanam pada musim kemarau dibandingkan dengan musim hujan. Persentase kejadian penyakit pada bibit yang ditanam pada musim kemarau 2 minggu lebih cepat mencapai 100% dibandingkan bibit yang ditanam pada musim hujan (Gambar 1). Jumlah curah hujan mempengaruhi tingkat persentase kejadian dan keparahan penyakit hawar daun dimana keparahan penyakit dari bibit yang ditanam pada musim kemarau (22,47%) lebih tinggi dari bibit yang ditanam pada musim hujan (9,27%). 
Lebih cepatnya perkembangan gejala penyakit dan lebih tingginya persentase kejadian dan keparahan penyakit pada bibit yang ditanam pada musim kemarautidak terlepas dari faktor lingkungan khususnya curah hujan (satu-satunya faktor lingkungan yang diamati setiap harinya di pembibitan A. crassicarpa). Secara umum, curah hujan pada musim kemaraujustru lebih tinggi dibandingkan pada musim hujan selama percobaan berlangsung. Total curah hujan bulanan pada musim kemarau berkisar antara 150,5-349,7 mm sedangkan pada musim hujan hanya berkisar antara 80,2-379,8 mm. Jumlah hari hujan pada musim kemarau hampir tidak berbeda selama masa percobaan (53 hari) dibandingkan dengan pada musim hujan (50 hari) namun intensitas curah hujan pada musim kemarau justru jauh lebih tinggi dibandingkan pada musim hujan (Ernawati, 2007).

Suhu
Kadang-kadang epidemi penyakit tanaman lebih berkembang karena pengaruh suhu yang lebih rendah atau lebih tinggi dibanding dengan kisaran suhu optimum bagi tanaman inang. Kisaran suhu tertentu dapat menurunkan tingkat ketahanan horizontal dan pada tingkat tertentu mungkin dapat menurunkan bahkan mematahkan ketahanan vertikal yang dibentuk oleh gen mayor. Tanaman yang tumbuh pada keadaan kisaran suhu tersebut akan mengalami ‘stres’ dan terdisposisi terhadap penyakit, sedangkan patogen tumbuh dengan lebih baik dibanding inangnya (Agrios, 2005).
Suhu juga dapat menurunkan jumlah inokulum dan vektor yang dapat bertahan hidup. Pengaruh suhu terhadap patogen biasanya pada tingkat-tingkat yang berbeda dari patogenesis, misalnya pada: perkecambahan spora, penetrasi ke inang, pertanaman, reproduksi, penyerangan inang atau pada sporulasi. Apabila pada tingkat kejadian, kisaran suhu menguntungkan, maka patogen polisiklik dapat menyelesaikan daur penyakitnya dalam waktu pendek dan tetap memberi peluang berkembangnya epidemi (Agrios, 2005).
Suhu dapat mempengaruhi inkubasi atau periode laten (waktu antara infeksi dan penampilan pertama gejala penyakit), waktu generasi (waktu antara infeksi dan sporulasi) dan periode menular (waktu di mana patogen terus memproduksi propagul). Pada suhu yang lebih tinggi siklus penyakit dipercepat dengan hasil bahwa epidemi berkembang lebih cepat. Di bawah kondisi dingin, kemajuan epidemi biasanya lebih lambat sehingga kejadian penyakit dan tingkat keparahan mungkin tidak mencapai ambang batas yang diperlukan untuk menyebabkan hilangnya tanaman yang signifikan.
Pada kasus tertentu, penyakit tertentu berkembang pada temperatur di bawah temperatur optimum inang maupun patogennya. Misalnya penyakit busuk akar hitam pada tanaman tembakau yang disebabkan oleh Thielaviosis basicola. Penyakit ini mengalami perkembangan secara optimal pada temperatur 17 sampai 23oC, sedangkan temperatur optimalnya untuk tembakau adalah 28-29oC dan untuk patogennya adalah 22-28oC. karena tembakau tumbuh sangat lemah pada temperatur yang jauh di bawah optimalnya, sehingga patogen lemahpun masih bisa menyerang tanaman tersebut. Patogen lain yang juga berkembang pesat pada temperatur di bawah temperatur optimum inang dan patogennya adalah Gibberella zeae penyebab penyakit busuk akar pada tanaman jagung (Nurhayati, 2002).
Contoh penyakit lainnya adalah penyakit stripe rust pada gandum yang merupakan penyakit karat yang terjadi pada daerah bersuhu dingin. Pada kondisi suhu yang terlalu tinggi perkembangan penyakit menjadi lambat yakni pada akhir musim semi atau awal musim panas Selain itu, ketahanan tanaman dari banyak kultivar gandum dinyatakan lebih kuat pada suhu tinggi yang juga mengurangi laju perkembangan epidemi.
Suhu memiliki efek lebih besar pada perkembangan penyakit di daerah beriklim sedang daripada di daerah tropis, di mana suhu relatif seragam sepanjang tahun. Namun, dalam fluktuasi diurnal suhu tropis, yang lebih besar dari fluktuasi musiman, tidak mempengaruhi patogen tanaman. Banyak patogen yang diinduksi untuk bersporulasi di malam hari oleh kombinasi dari penurunan suhu dan peningkatan kelembaban setelah malam tiba (Keane and Kerr, 2014).
Epidemi yang besar dari penyakit busuk daun kentang di Irlandia pada tahun 1840-an akibatdari inang yang rentan, patogen agresif dan periode hangat yang berkepanjangan, cuaca lembab yang mempertahankan daun basah pada kondisi ideal untuk infeksi oleh patogen. Cuaca musim semi basah di Australia sangat cocok terhapap perkembangan penyakit karat serealia. Periode kebasahan daun, bervariasi tergantung pada suhu, dapat digunakan untuk memprediksi wabah di musim semi penyakit busuk coklat buah batu yang disebabkan oleh Monilinia jructicota. Periode tersebut, disebut sebagai periode infeksi, bisa digunakan untuk memprediksi waktu ideal semprotan fungisida untuk mengendalikan penyakit. Sebuah pendekatan yang sama untuk pengendalian penyakit berlaku untuk penyakit downy mildews dan powdery mildews di kebun-kebun anggur di seluruh Australia selatan (Keane and Kerr, 2014).
Di Indonesia, perbedaan temperatur yang nyata hanya terdapat antara dataran rendah yang bersuhu lebih tinggi dan dataran tinggi yang bersuhu lebih rendah, dimana masing-masing lokasi tersebut memiliki pola perkembangan penyakit yang biasanya berbeda. Sebagai contoh tingkat keparahan penyakit gugur daun karet Corynespora. Pada perkebunan karet yang terletak di tempat yang lebih tinggi yang bersuhu lebih rendah, meskipun mengalami serangan namun pengguguran daun tanaman jarang terjadi. Keadaan suhu yang lebih rendah diduga merupakan faktor penghambat bagi perkembangan patogen. Beberapa hasil pengamatan menunjukkan bahwa cuaca lembab atau mendung dengan curah hujan merata sepanjang hari serta suhu udara 26-29oC akan membantu perkembangan penyakit gugur daun Corynespora di lapangan, sedangkan pada suhu 30 dan 35oC akan terhambat perkembangannya. Infeksi dapat terjadi pada kisaran suhu 20-35oC dengan suhu optimum 25oC. jika udara jenuh, infeksi dapat terjadi tanpa adanya air (Nurhayati, 2002).
Contoh lainnya dapat dilihat pada perkembangan penyakit karat tumor pada sengon. Tanaman sengon yang tumbuh di tempat tinggi seperti di lereng bukit maupun gunung, berpeluang mendapatkan serangan karat tumor lebih besar dibanding tanaman sengon yang tumbuh di tempat rendah dan rata. Pada dasarnya, ketinggian tempat bukanlah faktor utama yang dapat meningkatkan resiko terjadinya serangan jamur karat ini. Namun kondisi lingkungan seperti misalnya kelembapan yang tinggi, angin yang perlahan serta adanya kabut, umumnya terdapat di lokasi yang relatif tinggi (Rahayu, 2008).
Selain temperatur udara, temperatur tanah berperan penting dalam perkembangan penyakit yang patogennya hidup di dalam tanah (soil borne pathogen). Itulah sebabnya mengapa jamur Rhizoctonia solani dan nematoda Meloydogyne incognita menyerang inangnya pada temperatur tanah yang kritis dan jumlah inokulum banyak.

Cahaya
Cahaya berpengaruh terhadap proses infeksi, sporulasi, pelepasan spora dan penyebaran spora. Banyak patogen yang memerlukan cahaya dengan gelombang tertentu untuk bersporulasi dan untuk pelepasan sporanya. Radiasi dan cahaya mempunyai peranan bagi perkembangan epidemi dan biologi patogen. Siklus hidup patogen dapat berubah dengan berubahnya periode cahaya terang dan gelap. Infektivitas konidia beberapa patogen dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Cahaya  ultraviolet (UV) dapat menekan perkembangan patogen dalam waktu tertentu dan dapat mengakibatkan pembentukan spora patogen (Nurhayati, 2002).
Pengaruh cahaya  terhadap patogten bersifat langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung cahaya  berpengaruh terhadap kelembapan, dan secara langsung cahaya  berpengaruh terhadap patogen yang berada di luar jaringan tanaman. Cahaya tampak (visible light) yang secara kasarnya mempuntyai panjang gelombang 400 — 800 nm, hanya sedikit berpengaruh terhadap perkecambahan spora, kecualai apabila cahaya  tersebut sangat tinggi intensitasnya sehingga sifatnya menjadi memanaskan (Semangun, 2006).
Pada jamur tertentu, misalnya Uredinales, perkecambahan spora dihambat oleh sinar. Pada penelitian dengan memakai filter-filter diketahui bahwa makin besar panjang gelombangnya, hambatannya semakin efektif. Jadi, spektrum merah, jingga dan kuning adalah efektif, sedangkan radiasi yang mempunyai energi lebih tinggi dalam daerah biru adalah tidak efektif. Mungkin sekali ini berhubungan dengan adanya pigmen dalam spora-spora itu (Semangun, 2006)
Spora yang basah dan spora yang sudah mulai berkecambah lebih peka oleh hambatan cahaya . Cahaya  cahaya akan menyebabkan pembuluh kecambah membelok menjauhi sumber cahaya  (fototropisme negatif). Hal ini terjadi karena dinding proksimal pembuluh kecambah dipercepat perkembangannya. Radiasi cahaya  lembayung juga dapat menyebabkan jamur mengalami mutasi atau kematian, dan pengaruh yang paling besar terjadi pada panjang gelombang 265 nm (Semangun, 2006).

Angin
Angin sangat berperan untuk membantu pelepasan dan penyebaran konidia. Dengan arus angin atau tekanan turbulensi, konidia akan terlepas dari konidiofor. Selanjutnya, dengan arus angin tersebut konidia akan terangkut ke tempat yang jauh dan disebarkan ke wilayah yang luas. Selain itu, dengan arus angin yang berputar konidia yang terdapat pada tanaman karet yang rentan atau dipermukaan tanah dapat diangkut ke tajuk tanaman yang tingginya dapat mencapai 13-15 meter (Nurhayati, 2002).
Spora patogen yang terdapat diudara sangat bergantung pada kecepatan dan arah angin untuk dapat menemukan inangnya terutama bagi patogen seperti jamur yang menghasilkan spora kering dimana letak sporofornya agak menonjol dipermukaan. Contohnya konidiospora Helmintosporium maydis penyakit hawar hawar daun jagung. Angin  yang kencang juga dapat menyebabkan terjadinya luka mekanik yang menguntungkan patogen-patogen luka dan air borne untuk dapat menginfeksi inangnya. Namun demikian, hembusan angin yang terlalu kencang juga diketahui dapat mempercepat keringnya permukaan tanaman sehingga bila ada patogen yang sedang dalam proses infeksi dapat menggagalkan proses tersebut (Nurhayati, 2002).

FAKTOR LINGKUNGAN FISIK-KIMIA
Reaksi kimiawi di tanah
Keasaman tanah (pH) berperan penting dalam terjadi dan keganasan panyakit tumbuhan yang disebabkan oleh beberapa jenis patogen tertular tanah (Agrios, 2005). pH tanah berpengaruh terhadap perkembangan penyakit karena dapat menciptakan keadaan yang tidak disukai patogen. Di daerah segunung Cipanas Jawa Barat pada pH netral (6,5-7,0) intensitas serangan kudis yang disebabkan oleh Streptomyces scabies pada umbi kentang akan lebih berat. Sebaliknya apabila pH tanah cukup masam (5,2 kebawah), maka tanaman akan terbebas dari serangan patogen tersebut. Berbeda pula pada penyakit karat kubis yang disebabkan oleh Plasmodiophora brassicae, dimana penyakit akan berkembang pesat pada pH masam dan tertekan apabila pH tanah netral atau basa. Rhizoctonia sp. akan berkembang dengan pesat pada kemasaman tanah antara 5,8-8,1 dengan suhu tanah 15-18oC (Nurhayati, 2002).

Pupuk Kimia
Nutrisi tanaman berperan dalam perkembangan penyakit tanaman. Pengaruh nutrisi lebih pada pengaruhnya terhadap ketahanan tanaman terhadap patogen. Hal ini karena pada kondisi tanaman kekurangan nutrisi, akan memberikan keuntungan kepada patogen dalam menginfeksi tanaman. Beberapa unsur makro yang diketahui sangat esensial bagi tanaman adalah N, P dan K. Pada beberapa kasus, kelebihan atau kekurangan suatu unsur tertentu dapat meningkatkan ketahanan terhadap ketahanan patogen atau sebaliknya bahkan menurunkan ketahanan terhadap petogen (Nurhayati, 2002).
Unsur N akan menyebabkan bertambahnya masa vegetatif tanaman, sehingga masa rentan menjadi lebih panjang dan kerugian menjadi lebih besar. Kelebihan unsur N juga akan menyebabkan tanaman menjadi lebih sukulentis sehingga perkembangan patogen menjadi lebih baik (Semangun, 2006). Sebaliknya, tumbuhan yang mengalami kekurangan unsur N akan tumbuh lebih lemah, lebih lambat dan lebih cepat tua dan rentan terhadap patogen (Agrios, 2005). Sebagai contoh, pemberian unsur nitrogen yang berlebihan akan mengakibatkan tanaman tumbuh subur dan sukulen sehingga lebih rentan terhadap serangan patogen, seperti misalnya penyakit fire blight pada buah pir yang disebabkan oleh Erwinia amylovora akan meningkat apabila dipupuk dengan nitrogen dalam jumlah yang tinggi. Demikian juga serangan Puccinia striiformis penyebab penyakit karat pada gandum (Nurhayati, 2002).  Penyakit blas pada tanaman padi yang disebabkan oleh Pyricularia oryzae juga dipicu oleh pemupukan N yang terlalu tinggi (Andoko, 2002). Namun demikian, pada kasus serangan C. cassiicola, penambahan unsur N akan mempercepat pertumbuhan daun-daun karet yang baru muncul sehingga terhindar dari serangan patogen tersebut (Nurhayati, 2002).
Kejadian penyakit selanjutnya akan berbeda dengan kejadian penyakit di atas, dimana pada tanaman tomat yang kekurangan nitrogen akan mengakibatkan serangan Alternaria solani meningkat. Pemupukan nitrogen dalam jumlah yang tinggi yang disertai dengan pemberian unsur fosfor dalam jumlah rendah dapat menekan penyakit yang disebabkan oleh A. solani pada pertanaman kentang. Umumnya pemberian unsur hara yang seimbang akan membantu pertumbuhan tanaman yang optimal sehingga tanaman yang lebih mampu mempertahankan diri dari serangan patogen (Nurhayati, 2002).
Unsur K berfungsi untuk memacu perkembangan jaringan mekanis sehingga menjadi lebih kuat dan hal ini akan menghambat perkembangan patogen (Semangun, 2006). Agrios (2005) menyatakan bahwa kalium telah menunjukkan terjadinya penurunan berat beberapa penyakit yang meliputi karat batang pada gandum, early blight pada tomat dan busuk batang pada jagung, walaupun jumlah kalium yang tinggi nampaknya meningkatkan serangan penyakit blast pada padi yang disebabkan oleh Pyricularia oryzae.
Unsur posfor memperlihatkan terjadinya penurunan berat penyakit take-all pada barley yang disebabkan oleh Gaeumannomyces graminis dan kudis kentang yang disebabkan oleh s. scabies, tetapi meningkatkan serangan penyakit cucumber mozaic virus pada kacang tanah dan bisul glume (yang disebabkan oleh Septoria) pada gandum. Pospor nampaknya meningkatkan ketahanan tanaman melaui peningkatan keseimbangan hara atau mempercepat kematangan tanaman dan memungkinkan terhindar dari infeksi patogen yang lebih menyukai jaringan muda (Agrios, 2005).

Pestisida
Penggunaan pestisida pada umumnya adalah untuk menekan perkembangan penyakit tanaman, namun pada kenyataannya saat ini penggunaan pestisida tersebut mengakibatkan timbulnya strain-strain patogen yang baru dan yang lebih virulen sehingga membuka peluang terjadinya epidemi. Pengaruh lainnya dari penggunaan pestisida ini adalah mengakibatkan tidak saja matinya patogen tertentu tetapi juga mematikan mikroorganisme yang bermanfaat bagi tanaman (Nurhayati, 2002).
Agrios (2005) melaporkan bahwa pada beberapa kasus penggunaan herbisida telah meningkatkan serangan penyakit tertentu pada beberapa jenis tanaman. Sebagai contoh,                   R. solani pada gula bit dan kapas, layu Fusarium pada tomat dan kapas, busuk batang Sclerotium pada berbagai jenis tanmaan. Dalam kombinasi inang-patogen lain, herbisida nampaknya menurunkan serangan penyakit busuk akar Aphanomyces euteiches pada kacang kapri, busuk kaki Pseudocecosporalles herpotrichoides pada gandum dan busuk leher akar Phytophthora pada berbagai jenis tanaman.
Herbisida nampaknya berperan pada penyakit tumbuhan baik secara langsung dengan mempengaruhi (merangsang atau menghambat) pertumbuhan patogen atau meningkatkan atau menurunkan ketahanan inang dan secara tidak langsung dengan meningkatkan atau menurunkan aktivitas mikroflora tanah, dengan menyingkirkan atau menseleksi inang-inang alternatif patogen, atau dengan merubah iklim mikro pada kanopi tanaman (Agrios, 2005).

FAKTOR LINGKUNGAN BIOTIK
Yang dimaksud dengan lingkungan biologi di sini terutama adalah berbagai organisme yang berperan dalam menentukan keberhasilan suatu infeksi oleh patogen. Keberadaan mikroorganisme pada permukaan daun berpengaruh terhadap perkembangan patogen yang menyerang tanaman tersebut. Mikroorganisme tersebut menggunakan eksudat daun tersebut. Meskipun keberadaan mikroorganisme bersifat negatif (patogenik). Interaksi antara nematoda dengan beberapa jenis jamur seperti Fusarium, dan Phytophthora, maupun dengan bakteri seperti Pseudomonas ternyata mampu meningkatkan tingkat keparahan penyakit bila dibandingkan dengan apabila patogen tersebut menyerang secara individu. Selain itu beberapa patogen seperti jamur, nematoda, dan tumbuhan tinggi parasitik juga mampu berperan sebagai vektor virus sehingga juga akan meningkatkan tingkat keparahan penyakit yang disebabkan oleh virus tersebut.
Selain mikroorganisme patogenik, ada pula mikroorganisme yang bersifat positif bagi tanaman. Keberadaan organisme di sekitar tanaman yang bersifat positif bagi tanaman ini juga dapat bersifat negatif bagi patogen, dimana ini merupakan prinsip yang digunakan oleh para ahli dalam pengendalian penyakit tanaman secara biologis (biological control). Keberadaan mikroorganisme sebagai agen pengendali tersebut adalah untuk mengendalikan populasi suatu patogen sehingga dapat menekan terjadinya epidemi.

REFERENSI
bisa menghubungi penulis ^_^ di https://www.facebook.com/Dandazy 

2 komentar: