Laman

Minggu, 18 Mei 2014

Pengendalian Patogen dengan EVASI (AVOIDAN)

PENGENDALIAN YANG MENGALIHKAN PATOGEN DARI INANGNYA MELALUI EVASI ATAU PENGHINDARAN PATOGEN (AVOIDAN)

Oleh :
Rachmad SaputraSekar Utami Putri, Astuti Puji Rahayu

Pasca Sarjana Fitopatologi
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada



PENDAHULUAN
 Pengendalian penyakit tumbuhan dilakukan bertujuan untuk melindungi tanaman atau mengurangi tingkat kerusakan tanaman. Pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan berbagai cara yang pada dasarnya adalah pengelolaan segitiga penyakit, yaitu menekan populasi patogen serendah-rendahnya, membuat tanaman tahan terhadap serangan patogen, serta mengusahakan lingkungan agar menguntungkan tanaman tetapi tidak menguntungkan kehidupan patogen.

 Cara pengendalian umumnya bertujuan untuk menyelamatkan populasi dibandingkan menyelamatkan sedikit individu tanaman. Umumnya, kerusakan atau kehilangan hasil dari satu atau beberapa tanaman saja dari sekian populasi tanaman di suatu lahan dianggap bukan masalah. Dengan demikian, pengendalian umumnya dilakukan pada populasi tanaman pada suatu areal, walaupun pada kasus tertentu pengendalian dapat juga dilakukan hanya pada satu atau beberapa individu tanaman (terutama pohon, tanaman hias, dan kadang-kadang tanaman yang terinfeksi virus).
Penyakit yang sangat serius pada tanaman tertentu biasanya dimulai dari adanya bagian kecil dari tanaman yang terinfeksi dan menjadi sakit, kemudian menyebar dengan cepat, dan sukar untuk disembuhkan setelah penyakit mulai berkembang. Untuk itu, hampir semua metode pengendalian ditujukan untuk melindungi tanaman agar tidak menjadi sakit daripada menyembuhkannya setelah mereka menjadi sakit. Hanya sedikit penyakit infeksi pada tanaman yang dapat di kendalikan dengan baik di lapang dengan cara terapi.
Banyak sekali cara-cara pengendalian yang dapat dilakukan untuk mengendalikan penyakit tumbuhan, salah satunya adalah dengan cara pengendalian yang mengalihkan patogen dari inangnya yaitu dengan Evasi atau penghindaran patogen (avoidan). Evasi (avoidan) dilakukan untuk mengurangi inokulum awal, mengurangi laju infeksi dan mengurangi lamanya epidemi.
Dalam mengurangi inokulum awal, evasi merupakan cara pengendalian melalui pengurangan tingkat penyakit dengan memilih waktu tanam atau memilih lahan yang mempunyai jumlah inokulum yang rendah atau karena faktor lingkungan tidak sesuai untuk infeksi. Untuk mengurangi laju infeksi, evasi dilaksanakan guna mengurangi laju produksi inokulum, laju infeksi, atau laju perkembangan patogen dengan cara memilih musim tanam atau memilih lahan yang lingkungannya tidak mendukung. Sedangkan dalam mengurangi lamanya epidemi, evasi dilakukan dengan  menanam cultivar tanaman yang cepat dewasa atau menanam suatu musim yang memungkinkan tanaman cepat dewasa.

AVOIDAN
Avoidan dapat diartikan pengendalian penyakit dengan cara memilih waktu tanam atau memilih lahan tanam saat inokulum tidak efektif karena kondisi lingkungan tidak mendukung atau inokulum dalam jumlah yang sangat sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Tujuan dari cara pengendalian ini adalah untuk menghindarkan terjadinya kontak antara inang dengan patogen atau dihindarkan waktu yang bertepatan antara stadia tanaman yang rentan dengan kondisi lingkungan yang mendukung kehidupan patogen. Yang termasuk dalam tindakan avoidan adalah pemilihan area geografis, seleksi lahan, pemilihan waktu tanam, varietas lolos penyakit, seleksi pada benih dan perbanyakan vegetatif, serta modifikasi praktek penanaman.

Pemilihan Area Geografis
Area geografis yang dipilih adalah yang lingkungan fisiknya (suhu, kelembapan, curah hujan dsb.) sesuai untuk tanaman tetapi kurang sesuai untuk patogen. Faktor-faktor tersebut juga akan berpengaruh terhadap terjadinya penyakit. Tanaman kopi arabika yang rentan terhadap penyakit karat daun kopi (Hemileia vastatrix) hanya bertahan hidup di daerah pegunungan di Indonesia dengan ketinggian tempat lebih dari 1000 m dari permukaan laut, seperti di Dataran Tinggi Ijen (Jawa Timur), Bali, Aceh, dan Toraja. Hal ini karena pada daerah tersebut suhunya relatif dingin yang kurang mendukung perkembangan patogen penyebab karat daun kopi.
Banyak penyakit yang disebabkan oleh jamur dan bakteri menjadi lebih parah bila tanaman ditanam di daerah yang basah dibandingkan dengan di daerah kering. Sebagai contoh adalah kasus cacar daun teh yang disebabkan oleh jamur Exobasidium vexans. Penyakit cacar teh sangat dipengaruhi oleh kelembapan udara. Kebun teh yang terletak di lereng sebelah timur umumnya mendapat serangan E. vexans lebih rendah dibandingkan tempat lainnya. Hal ini terjadi karena kebun yang terletak di lereng sebelah timur akan lebih cepat mendapat sinar matahari pagi dan kelembapan udaranya pun lebih cepat berkurang.
Curah hujan pada daerah itu juga mempengaruhi perkembangan penyakit tumbuhan. Penyakit karat pada kedelai (Phakopsora pachyrhizi) akan lebih berat terjadi pada pertanaman kedelai musim penghujan. Dengan demikian, bila tanaman kedelai di tanam di daerah yang lebih kering, maka penyakit karat daun kedelai akan lebih ringan serangannya.
Menurut Hadiwiyono (2007) Blood Disease Bacterium (BDB) lebih dominan menyerang tanaman pisang di dataran rendah dan tidak dijumpai pisang terserang BDB di dataran tinggi dengan ketinggian lebih dari 900m dpl. Hal ini dikarenakan adanya suhu dan kelembapan udara yang sesuai untuk pertumbuhan BDB tersebut.

Seleksi Lahan
Keberhasilan bercocok tanaman tergantung juga pada kondisi lahan. Hal ini terutama bila dalam tanah tersebut terdapat patogen tanah yang seringkali secara endemi ada pada tanah-tanah tertentu. Apabila pada tanah tersebut telah terdapat penyakit tular tanah yang bersifat endemi, sedapat mungkin harus dihindarkan penanaman tanaman yang berkaitan dengan penyakit tersebut dan dipilih lahan yang belum terinfestasi patogen tersebut. Untuk itu, sejarah penggunaan lahan sebelumnya harus diketahui agar bisa dihindarkan berkembangnya penyakit tumbuhan pada pertanaman berikutnya.
Contoh untuk hal ini telah diterapkan di Sumatera Utara oleh beberapa perusahaan perkebunan pada tanaman kelapa sawit dan karet. Lahan yang dipilih untuk penanaman kelapa sawit dihindarkan bekas perkebunan kelapa sawit yang telah terserang berat oleh jamur Ganoderma sp. (penyakit busuk pangkal batang) , sedangkan untuk lahan karet dihindarkan pada lahan yang sebelumnya adalah pertanaman karet yang telah terserang berat oleh jamur Rigidoporus lignosus penyebab penyakit akar putih pada tanaman karet.

Pemilihan Waktu Tanam
Pemilihan waktu tanam dapat menghindarkan tanaman dari serangan patogen, misalnya menghindarkan menanam sayuran pada musim penghujan karena banyak jamur dan bakteri patogenik yang dapat memusnahkan tanaman sayuran dibandingkan pada musim kering.
Penanaman tanaman kentang pada musim kemarau akan menghindarkan tanaman tersebut dari serangan jamur Phytophthora infestans penyebab hawar daun kentang. Hal ini juga berlaku untuk penyakit bercak ungu (disebabkan oleh jamur Alternaria porri) pada bawang putih, bawang merah dan bawang daun; penyakit antraknose (Colletotrichum sp) pada cabe, bercak daun (Alternaria solani) dan hawar daun (Phytophthora sp) pada tomat, dan penyakit lanas (Phytophthora nicotianae) pada tembakau. Penyakit hawar bakteri yang disebabkan oleh Xanthomonas campestris pv. manihotis pada ketela pohon akan sangat tinggi instensitasnya pada saat musim penghujan dan akan mencapai puncaknya pada akhir musim penghujan.
Berdasarkan hasil penelitian Nurhayati dan Situmorang (2008) yang dilaksanakan di Kebun Karet yang sudah menghasilkan di lahan perkebunan PTP VII Bergen Provinsi Lampung, disimpulkan bahwa pola curah hujan dan hari hujan mempengaruhi pertumbuhan tajuk tanaman dan perkembangan penyakit gugur daun Corynespora pada Karet. Jumlah spora di udara relatif lebih tinggi dalam periode pengamatan tahun 2005 dibandingkan dalam periode yang sama tahun 2006, keparahan penyakit gugur daun Corynespora, lebih tinggi pada tahun 2005 dibandingkan dengan tahun 2006.
Hal tersebut dikarenakan selama paruh pertama Juli 2005 terjadi hujan dengan curah hujan relatif sedikit dengan selang waktu terjadinya hujan berikutnya sekitar dua hingga tiga hari. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya kelembaban udara pada satu sisi dan temperatur juga tinggi. Kondisi ini merupakan kondisi yang relative optimal bagi spora untuk berkecambah. Itulah sebabnya mengapa jumlah spora pada keadaan ini berada pada kategori sedang yakni 5,5 spora/cm2. Kondisi di mana ada hujan yang tidak begitu lebat yang diikuti oleh periode tanpa hujan dalam waktu yang relatif lama menjadikan kondisi udara menjadi sangat optimal bagi perkecambahan spora terjadi pada paruh pertama Agustus 2005. Pada periode ini ternyata hujan jatuh setelah mengalami periode tanpa hujan sekitar 8 hari sejak jatuh hujan dengan curah hujan yang kecil yakni hanya 4 mm/hari. Pada keadaan ini terjadi jumlah spora yang terdistribusi relatif tinggi yakni mencapai angka 19,5 spora/cm2 dibandingkan dengan paruh kedua Juli 2005 (Nurhayati dan Situmorang, 2008).
Kondisi di atas jauh berbeda selama periode pengamatan Juli dan Agustus pada tahun 2006. Selama paruh pertama Juli 2006 tidak ada hujan sama sekali. Udara tergolong cerah atau temperatur udara tergolong tinggi dengan kelembaban relative (RH) lebih rendah. Kondisi ini menjadi tidak cocok bagi percambahan spora. Konsekuensi dari kondisi cuaca demikian adalah sangat rendahnya jumlah spora di udara yakni kurang dari 1 spora/cm2. Adanya hujan yang terjadi relatif lebat setiap hari selama empat hari pada paruh kedua Juli 2006 menjadikan udara, walaupun relatif lembab dan temperatur udara relatif tinggi, tidak begitu ideal untuk perkecambahan spora. Ini dibuktikan jumlah spora di udara selama paruh kedua Juli dan paruh pertama Agustus 2006 tidak tinggi dan tidak begitu berbeda nyata satu sama lain. Jumlah spora di udara di kedua periode. Selain itu, disimpulkan pula bahwa terjadinya epidemi disebabkan oleh pergeseran pola pembentukan daun muda dan pola pergeseran curah hujan. Apabila terjadi hujan dengan intensitas rendah dan berselang-seling dengan hari hujan 6 hari, selama pembentukan daun muda, maka tanaman menghasilkan klon RRIM 600 akan mengakibatkan terjadinya epidemi.
Pahhi dkk. (2005) juga melaporkan dalam hasil penelitiannya bahwa rendahnya intensitas penyakit bulai ataupun tidak adanya penyakit bulai di  beberapa lokasi, baik pada fase vegetatif maupun fase generatif memperkuat dugaan bahwa pertanaman jagung diawal musim hujan, setelah kemarau, merupakan kondisi  tidak kondusif untuk perkembangannya dan resiko kegagalan panen akibat penyakit tersebut adalah rendah.
Hal tersebut juga terlihat pada dua lokasi pertanaman yang melakukan penanaman secara terus menerus yaitu di Maros Baru dan Bajeng Gowa (Instalasi Balitsereal). Di Maros Baru pada pengamatan kedua (fase generatif), intensitas serangan bulai juga cukup rendah, hanya mencapai 8% atau peningkatan intensitas hanya mencapai 3% dalam tenggang waktu pengamatan sekitar satu bulan dari pengamatan difase vegetatif. Data ini pula menggambarkan bahwa pada penanaman diawal musim hujan, faktor curah hujan yang tinggi menyebabkan rendahnya intensitas penyakit bulai. Ini disebabkan karena sumber inokulum awal tergolong rendah atau produksi konidia pada tanaman yang terinfeksi awal adalah kurang, akibat cekaman curah hujan ataupun bila ada konidia yang berkembang dan berhasil hinggap pada permukaan daun, akan tercuci oleh air hujan sebelum sempat menginfeksi (Pahhri dkk., 2005).

Varietas Lolos Penyakit
Ada varietas-varietas tanaman tertentu yang cepat dewasa sehingga tanaman dapat lolos dari serangan patogen pada fase bibit (misalnya penyakit kulai). Di Indonesia belum didapatkan contoh yang spesifik mengenai hal ini. Di India, varietas pea yang cepat dewasa dapat lolos dari penyakit embun tepung dan karat.

Seleksi Pada Benih Dan Perbanyakan Vegetatif
Dipilih benih dan materi perbanyakan vegetatif yang bebas penyakit. Bila material perbanyakan (biji, umbi, atau stok bibit) bebas dari patogen, seringkali tanaman yang ditumbuhkan dari material semacam ini akan bebas patogen tanaman untuk sisa hidupnya. Contohnya adalah tanaman berkayu yang terserang oleh virus tidak bervektor. Dalam kebanyakan tanaman, kalau inang dapat ditumbuhkan bebas patogen untuk periode tertentu sejak awal kehidupannya, tanaman selanjutnya dapat memproduksi hasil yang cukup baik walaupun untuk penanaman berikutnya patogen berpotensi untuk mengadakan infeksi berikutnya. Contohnya adalah tanaman yang dipengaruhi oleh virus bervektor, phytoplasma, jamur, bakteri dan nematoda.
Setiap tanaman inang akan tumbuh lebih baik dan memproduksi lebih tinggi kalau material perbanyakan yang digunakan bebas dai banyak patogen, atau paling tidak bebas dari patogen-patogen penting. Untuk itu, penanaman diupayakan menggunakan biji atau bibit bebas patogen, walaupun biayanya lebih mahal dibandingkan dengan material perbanyakan yang tidak diketahui mengandung patogen atau tidak.
Semua tipe patogen berpotensi untuk terbawa dalam atau pada material perbanyakan. Akan tetapi, relatif sedikit patogen yang dapat menginvasi biji, walaupun beberapa patogen lain dapat mengkotaminasi permukaan biji tersebut. Biji dapat membawa satu atau beberapa jamur secara internal (seperti penyebab antraknosa dan gosong), bakteri tertentu penyebab layu bakteri, bercak, dan hawar, dan satu dari beberapa virus (tobacco ringspot dalam kedelai, bean common mosaic, lettuce mosaic, barley stripe mosaic, squash mosaic, damn prunus necrotic ringspot). Pada sisi lain, materi perbanyakan vegetatif diperkirakan dapat membawa secara internal patogen virus, viroid, phytoplasma, protozoa, dan jamur vaskuler atau bakteri yang telah ada secara sistemik dalam tanaman induknya, selain bahwa organ-organ perbanyakan tersebut dapat membawa secara eksternal patogen jamur, bakteri dan nematoda. Beberapa nematoda juga dapat terbawa secara internal dalam beberapa organ perbanyakan bawah tanah (umbi, bulb, corm, dan rhizome) dan dalam atau pada akar.
Biji yang bebas dari jamur, bakteri, dan beberapa patogen virus biasanya diperoleh dengan cara menanam tanaman dan memproduksi bijinya pada (1) suatu area yang bebas atau terisolasi dari patogen, (2) suatu area yang tidak sesuai untuk patogen (seperti daerah barat yang kering di USA dimana biji buncis yang diproduksi biasanya bebas dari antraknosa dan hawar bakteri), atau (3) suatu area yang tidak sesuai untuk kehidupan vektor patogen.
Untuk virus yang ditularkan melalui biji dan ditularkan melalui kutu daun, sangat diperlukan biji yang benar-benar bebas dari patogen, terutama bebas dari patogen virus. Karena patogen biasanya telah ada di lahan pada awal musim pertumbuhan, maka sedikit saja biji telah terinfeksi sudah cukup untuk menyediakan inokulum yang diperlukan untuk penyebaran dan infeksi dini pada banyak tanaman, sehingga menyebabkan kerugian yang parah.

Modifikasi Praktek Penanaman
Modifikasi praktek penanaman agar pertanaman terhindar dari serangan patogen antara lain dengan cara mengatur jarak tanam, pemupukan, pola tanam, dan sebagainya, agar penyakit tidak berkembang dengan pesat. Jarak tanam yang rapat di lahan yang subur pada tanaman jagung akan membantu perkembangan penyakit gosong (disebabkan oleh jamur Ustilago maydis), demikian juga pada tanaman padi akan meningkatkan kerentanannya pada penyakit hawar puth daun dan busuk batang yang disebabkan oleh Rhizoctonia solani. Tanaman kacang tanah yang kekurangan unsur magnesium akan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit bercak daun Cercospora.
Tanaman padi yang kelebihan maupun kekurangan nitrogen akan meningkatkan kerentanannya terhadap penyakit bercak cokelat yang disebabkan oleh jamur Drechslera oryzae dan blas yang disebabkan oleh Pyricularia oryzae. Tanaman padi yang cukup memperoleh pemupukan fosfor (P) dan kalium (K) akan meningkat ketahanannya terhadap penyakit hawar daun bakteri yang disebabkan oleh Xanthomonas campestris pv. oryzae, sedangkan bibit padi yang dipindah pada umur yang lebih muda dan dipotong ujung daunnya pada saat dipindah akan meningkatkan terjadinya penyakit tersebut. Pengendalian penyakit kerdil rumput pada padi yang disebabkan oleh virus dan ditularkan melalui vektor wereng cokelat dianjurkan antara lain menggunakan pergiliran tanaman dengan tanaman bukan padi.
Menurut Widadi et al (2009) menyimpulkan bahwa aplikasi garam NaCl dengan konsentrasi dan waktu serta frekuensi aplikasi yang tepat akan sangat efektif mengendalikan penyakit akar gada. Konsentrasi aplikasi NaCl 0,5-1% dapat dipertimbangkan untuk mengendalikan penyakit akar gada. Aplikasi pada dua atau satu minggu sebelum tanam dapat dipertimbangkan dalam pengendalian penyakit akar gada dengan penyiraman larutan NaCl. Hal ini dikarenakan penyakit akar gada akan terhambat pada pH diatas 7.
Pengendalian penyakit keriting kuning cabai di Indonesia secara terpadu antara lain dengan cara menanam bibit cabai sehat, sanitasi gulma dan tanaman sakit, menanam kultivar cabai toleran, perbaikan pola tanam dan pengendalian serangga vector. Hal ini dikarenakan begomovirus menyerang cabai mungkin selain dari tanaman cabai seperti buncis, kacang panjang atau bahkan gulma yang sekitar cabai. Selain itu vector tersebut menyebabkan penyakit daun keriting kuning cabai di Indonesia bersifat persisten tapi tidak mengalami replikasi atau non-propagatif pada tubuhnya (Sulandari 2006).
  
REFERENSI 
Bisa langsung diskusi dengan penulis ^_^ di https://www.facebook.com/Dandazy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar