Laman

Minggu, 18 Mei 2014

Ganoderma, Iklim dan Kejadian EID

Ganoderma boninense PENYEBAB PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG PADA TANAMAN KELAPA SAWIT DAN PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KEJADIAN EMERGING INFECTIOUS DISEASE

Rachmad Saputra

Program Studi Magister Fitopatologi
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada


PENDAHULUAN
Kelapa sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) merupakan tanaman komoditas perkebunan yang penting di Indonesia sebagai penghasil minyak nabati beserta beberapa produk turunan lainnya. Pada saat Indonesia mengalami krisis ekonomi, industri kelapa sawit merupakan salah satu agroindustri andalan yang menghasilkan devisa bagi negara. Disamping itu, krisis energi yang melanda dunia mengharuskan kita untuk mencari energi alternatif yang dapat diperbaharui (renewable energy). Potensi minyak kelapa sawit sebagai salah satu bahan baku biofuel menggantikan bahan bakar minyak bumi atau fosil membuat permintaan akan minyak kelapa sawit dunia semakin tinggi. Sejak tahun 2007, Indonesia merupakan produsen Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia, dengan rata-rata produktivitas 2,6 ton CPO/ ha/ tahun (Dahuri 2008).
Industri kelapa sawit merupakan salah satu agroindustri andalan penghasil devisa negara, karena ditinjau dari segi ekonomi harga minyak dunia telah mencapai US$ 136,04/barrel, selain itu industri kelapa sawit berperan dalam menyediakan kebutuhan minyak dalam negeri, dan mampu menyerap tenaga kerja hingga lebih dari 3,5 juta orang (Depperin 2007). Salah satu masalah utama yang dihadapi perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan Ganoderma Boninense. Penyakit ini sangat merugikan dan dapat menyebabkan kematian kelapa sawit. Saat ini serangan penyakitnya semakin berat dan laju infeksinya makin cepat. Penyakit ini sukar dikendalikan karena sifatnya yang menular melalui tanah.Saat ini Ganoderma sudah bisa ditemukan hampir di semua kebun kelapa sawit di Indonesia walau kejadian penyakitnya bervariasi.Perkembangan cepat  penyakit ini tidak hanya di lahan mineral tetapi juga di lahan gambut. Pada tanah yang miskin unsur hara di laporkan kejadian penyakitGanoderma lebih besar.

Subtrat Ganoderma di perkebunan kelapa sawit sangat melimpah. Inang alternatif penyakit ini sangat luas. Dihutan, jamur ini menyerang tanaman berkayu. Jamur ini juga menyerang tanaman palem-paleman lain seperti kelapa. Saat ini dilaporkan akasia di Hutan Tanaman Industri (HTI) juga terserang Ganoderma.

Seperti umumnya patogen tular tanah, keberadaannya dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang sangat kompleks, apalagi penyakit BPB bersifat sistemik dan monosiklik (Sinaga et al. 2003). Patogen tular tanah mempunyai kemampuan saprofitik yang tinggi dan parasitik fakultatif dengan kisaran inang yang luas, memiliki beberapa macam stuktur patogen untuk bertahan dalam keadaan lingkungan yang kurang mendukung perkembangannya; seperti miselia resisten, basidiospora, dan klamidospora; serta dapat bertahan lama di dalam tanah meskipun tidak ada inang (Sinaga et al. 2003). Dengan demikian patogen tidak kesulitan untuk mendapatkan makanan untuk membangun inokulum yang cukup banyak sehingga mampu melakukan infeksi pada tanaman maupun untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Semangun 2008).

Saat ini penyakit busuk pangkal batang sudah merupakan penyakit yang penting, terutama pada kebun-kebun kelapa sawit yang telah mengalami peremajaan. Semakin sering suatu kebun telah mengalami peremajaan maka semakin tinggi persentase kejadian penyakit BPB. Hal ini terjadi karena setelah cendawan menginfeksi tanaman, areal pertanaman akan terus terkontaminasi dan inokulum patogen akan terakumulasi sejalan dengan semakin seringnya penanaman kelapa sawit (Susanto et al. 2005).


PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG KELAPA SAWIT
Penyakit busuk pangkal batang merupakan penyakit penting pada tanaman kelapa sawit di Indonesia yang disebabkan oleh jamur G. boninense (Semangun, 2006). Secara sistematika G. boninense tergolong ke dalam kingdom: Fungi atau Mycota, fylum: Basidiomycota, kelas: Basidiomycetes, ordo: Polyporales, famili: Polyporaceae, divisi: Eymycophyta, genus: Ganoderma dan spesies: boninense (Yanti dan Susanto, 2004). Secara mikroskopis basidiospora G. boninense adalah uniselular, haploid, berbentuk ellipsoid, bujur atau truncate. Jing (2007) melaporkan bahwa massa spora G. boninense berwarna pirang kekuningan. Panjang basidiospora adalah 7,1-13,8 μm dan lebar 4,8-8,3 μm.
Penyakit ini telah menimbulkan kematian sampai 50% dari populasi tanaman di beberapa kebun kelapa sawit di Indonesia, sehingga mengakibatkan penurunan produksi kelapa sawit per satuan luas (Turner, 1981). Semangun (2008) menyatakan bahwa di Sumatra Utara, kebun kelapa sawit yang setengah umur (± berumur 15 tahun) kadang-kadang setengah dari pohonnya mati. Gurmit (1990) dalam Jing (2007) juga melaporkan bahwa penyakit ini dapat menimbulakn kematian hingga 85% populasi tanaman kelapa sawit pada umur 25 tahun.

MEKANISME INFEKSI
Infeksi jamur Ganoderma di lapangan berawal dari adanya persentuhan akar tanaman yang sehat dengan jaringan akar tanaman yang telah terserang di dalam tanah atau batang kelapa sawit yang telah terinfeksi jamur Ganoderma yang dibiarkan membusuk di kebun (sebagai sumber inokulum Ganoderma) di mana jamur Ganoderma masih hidup sebagai saprofit. Untuk suksenya penetrasi dan degradasi akar sehat yang utuh, produksi sebuah susunan enzim-enzim pendegradasi dinding sel sangat dibutuhkan untuk melakukan penetrasi jaringan akar yang terluar yang tersusun atas polimer selulosa yang kuat, lignin dan suberin. Aktifitas enzim oleh jamur G. boninense yang sesuai untuk lignin dan keseluruhan polimer utama lainnya dari penyusun dinding sel terdeteksi bersama dengan efeknya pada komposisi dinding inang selama infeksi G. boninense. Satu bulan setelah inokulasi pemutihan pada akar tampak jelas mengikuti miselium yang mungkin mencerminkan kerusakan oksidatif lignin  (Cooper, 1984 dan Rees, 2006 dalam Cooper and Rees, 2011).
Di bagian akar, miselium jamur Ganoderma berada dalam sel empulur, korteks, endodermis perisikel dan parenkima. Jamur ini akan menginfeksi dan bergerak dalam akar menuju ke pangkal batang tanaman kelapa sawit. Menurut Ariffin dkk. (1989) dalam Jing (2007), pada bagian batang yang terinfeksi, terdapat suatu garis hitam (black line) yang memisahkan antara jaringan yang terinfeksi dengan yang sehat. Munculnya garis hitam pada bagian batang ini terjadi karena enzim-enzim yang dikeluarkan oleh jamur Ganoderma. Beberapa spesies Ganoderma memproduksi enzim amylase, ekstraseluler, oksidase, invertase, koagulase, protease, renetase, pektinase, dan selulose. G. boninense memproduksi manganese peroksidase (MnP) dan lakase. Jamur yang tergolong kelompok jamur busuk putih memproduksi sistem lignolitik yang tidak spesifik yang terdiri dari peroksidase dan lakase (phenol oksidase: LAC), yang melakukan proses oksidasi.
Kolonisasi dan infeksi jamur Ganoderma dalam jaringan akar dan batang pohon kelapa sawit yang telah terinfeksi menyebabkan timbulnya gejala penyakit pada daun. Kajian histopatologi yang telah dijalankan menunjukkan jamur Ganoderma merupakan penyakit vaskular, di mana invasi jamur ini melalui pergerakan miselium dalam floem dan xilem. Kehadiran miselium dalam jaringan vaskular inilah yang mengganggu proses pengambilan air dan makanan. Oleh karena itu, timbulnya gejala penyakit di bagian pucuk dan pelepah.
Semangun (2008) menyatakan bahwa gejala pohon kelapa sawit yang diserang oleh G. boninense dapat diketahui dari mahkota pohon. Pohon sakit mempunyai janur (daun yang belum membuka) lebih banyak dari pada yang biasa. Daun bewarna hijau pucat, daun-daun tua layu, patah pada pelepah dan menggantung di sekitar pohon. Gejala yang khas, sebelum terbentuknya tubuh buah jamur adalah adanya pembusukan pada pangkal batang. Penyakit menyebabkan busuk kering pada jaringan batang bagian dalam. Bagian yang terserang tersebut bewarna coklat muda dengan jalur-jalur tidak teratur yang bewarna gelap. Jalur-jalur gelap yang disebut zone-zone reaksi adalah tempat timbulnya blendok. Di tepi daerah yang terinfeksi terdapat zona yang tidak teratur yang bewarna kuning. Zona ini berbau seperti minyak yang telah mengalami fermentasi akibat dari mekanisme perlawanan tanaman terhadap infeksi patogen.Pada sel yang berdekatan dalam garis hitam tersebut, hifa jamur G. boninense akan membentuk struktur tahan berupa klamidospora. Kemampuan patogen ini membentuk struktur tahan dalam jaringan tersebut merupakan suatu mekanisme yang menyebabkan jamur ini dapat bertahan lama.
Turner (1981) melaporkan bahwa fungsi basidiospora Ganoderma dalam penyebaran penyakit masih belum jelas. Dengan penyebaran yang begitu luas, diperkirakan setiap pohon kelapa sawit dalam satu kebun akan terinfeksi penyakit BPB jika basidiospora menyebarkan infeksi. Percobaan untuk menginokulasi jamur tanaman kelapa sawit yang sehat dengan spora dan kajian ukuran inokulum telah menunjukkan bahwa spora tidak mempunyai kemampuan inokulum yang mencukupi untuk menyebabkan infeksi terus pada pohon kelapa sawit. Namun, basidiospora memainkan peranan dalam menyebarkan penyakit. Basidiospora tidak selalu membentuk miselium sekunder dan tubuh buah karena memerlukan tipe perkawinan yang sama. Basidiospora dibebaskan dan menyebar secara besar-besaran pada pukul 22.00-06.00, dan lebih sedikit pada pukul 12.00-16.00. Pemencaran ini juga dibantu oleh kumbang Oryctes rhinoceros yang larvanya umum ditemukan pada batang kelapa sawit yang busuk.
Ganoderma menyebar dalam tanah melalui akar dan melalui udara. Studi kompatibilitas telah menunjukkan bahwa jamur dikumpulkan dari bidang atau wilayah yang sama mungkin memiliki asal yang berbeda sehingga pertumbuhan miselium mungkin bukan satu-satunya metode penularan penyakit di antara pohon-pohon. Basidiomycetes, seperti Ganoderma, memiliki dua strategi untuk reproduksinya, yakni spora dan miselia (Miller, 1995 dalam Hushiarian et al., 2013).
Meskipun basidiospora pasti terlibat dan ada bukti bahwa mereka mampu untuk berkecambah pada pemotongan batang di perkebunan, tidak ada infeksi yang berhasil menyerang kelapa sawit dengan basidiospora (Hasan et al., 2005; Idris, 2013 dan Cooper et al., 2011 dalam Hushiarian et al., 2013). Alasan untuk hal tersebut sepertinya adalah agresifitas G. boninsense yang rendah dan kebutuhan inokulum yang besar (Rees et al., 2007 dalam Hushiarian et al., 2013).
Angin, hujan dan serangga, semuanya membantu untuk membawa spora untuk menimbulkan luka di pohon, dan paling sering pada pohon yang telah dipotong. Secara khusus, kumbang Oryctes dan larva Sufetula spp setidaknya memainkan peran kecil dalam penyebaran spora Ganoderma. Percobaan di mana sejumlah besar spora Ganoderma yang dirilis di lapangan tetapi tidak menginfeksi sebagian besar pohon telah menunjukkan bahwa jaringan terinfeksi di dalam tanah lebih mungkin untuk menyebarkan penyakit ke akar sehat daripada spora udara (Genty et al., 1976 dan Ho dan Nawawi, 1986 dalam Hushiarian et al., 2013). Dengan demikian, meskipun tidak semua ilmuwan setuju tentang bagaimana tanaman kelapa sawit terinfeksi dan bagaimana penyakit menyebar dan banyak pula penelitian termasuk upaya untuk menyuntik dan menginfeksi kelapa sawit dengan basidiospora tidak berhasil (Hasan dan Banjir, 2003 dalam Hushiarian et al., 2013),
Siklus hidup jamur Ganoderma dapat dirincikan seperti pada Gambar 1. (1) Basidiospora yang haploid dihasilkan oleh basidium. (2) Basidiospora berkecambah menjadi miselium manokarion. Dua monokarion yang serasi bertemu, pertautan hifa dan plasmogami terjadi dan menghasilkan hifa dwikarion. (3) dan (4) Mekanisme dwikariotisasi terjadi di mana jepit penghubung (clamp connection) terbentuk pada miselium baru. (5) Seterusnya basidiokarpa terbentuk. (6) Lapisan himenium terbentuk dan (7) basidium terbentuk. (8) Kariogami terjadi dalam basidium dan (9) setelah meiosis, empat nukleus haploid terbentuk. (10) Pembentukan empat tonjolan merupakan proses awal pembentukan basidiospora. Seterusnya setiap nukleus bergerak ke tonjolan dan akhirnya empat basidiospora terhasil pada ujung basidium (Esser & Kuenen, 1967 dalam Hushiarian et al., 2013).
PERUBAHAN IKLIM DAN EMERGING INFECTIOUS DISEASE DISEBABKAN OLEH G. boninense
Perubahan iklim akan menimbulkan ketidakpastian dalam produksi kelapa sawit dan akan meningkatkan jangkauan dan tingkat keparahan penyakit tanaman penting di seluruh dunia dalam 20 tahun ke depan (Miraglia et al, 2009), meskipun perubahan iklim benar-benar dapat menurunkan keparahan epidemi dalam beberapa kasus (Chakraborty et al., 1998).  
Perubahan iklim akan menyebabkan sistem produksi pertanian akan menurun drastis khususnya di Sub Sahara Afrika dan Asia Selatan yang menunjukkan bahwa akan berkurang untuk penanaman kelapa sawit. Cuaca akan menyebabkan kekeringan yang lebih intens dan lebih lama di daerah tropis dan sub-tropis, dengan jumlah orang yang terkena dampak yang terbesar di mega-delta Asia dan Afrika. Daerah pesisir akan berada di risiko terbesar karena meningkatnya banjir. Produktivitas tanaman secara umum diproyeksikan menurun dengan peningkatan suhu lokal kecil di daerah tropis (Easterling et al., 2007). Kenaikan permukaan laut diproyeksikan untuk memperluas bidang salinasi air tanah dan muara, sehingga penurunan ketersediaan air tawar pesisir untuk sistem pertanian termasuk kelapa sawit. Akhirnya, pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap efek perubahan iklim, kenaikan permukaan laut dan kejadian-kejadian ekstrim, relevan terutama ke negara-negara seperti Indonesia (Tirado et al., 2010).
Model dalam IPCC (2007) menunjukkan bahwa kenaikan suhu (1-3oC), dengan peningkatan CO2 terkait dan perubahan curah hujan, dapat memiliki dampak yang besar di daerah tropis, di mana bahkan sedikit pemanasan (1-2oC) akan mengurangi hasil. Pemanasan lebih lanjut (di atas 1-3oC) akan berdampak semakin negatif terhadap produksi pangan global (Easterling et al., 2007). Sebagai contoh, kekeringan, banjir dan lebih suhu tinggi berdampak pada kerentanan tanaman terhadap serangan jamur mengurangi stabilitas makanan dan berlaku untuk penyakit yang disebkan jamur pada kelapa sawit.
Suhu, kelembaban, dan sinar matahari akan mempengaruhi kelangsungan hidup patogen sehingga mampu hidup mandiri di luar inangnya (Peterson et al., 2013). Noor et al. (2011) menemukan bahwa suhu tanah terkait dengan kelapa sawit adalah 27,25oC dan bahwa suhu daun ini sangat serupa pada 27.69oC. Tanah kadar air setinggi 26,52%. Semua suhu tersebut akan menguntungkan untuk penyakit yang disebabkan  jamur seperti Ganoderma. Rees et al. (2007) menetapkan bahwa suhu tanah di bawah sinar matahari sering naik di atas 40oC dan mencapai 45oC, sedangkan di bawah naungan tidak pernah melebihi 32oC. Para peneliti menduga bahwa G. boninense dihambat di tanah terbuka. Oleh karena itu, pengukuran suhu lebih diperlukan, seperti penilaian dari fisiologi pertumbuhan jamur patogen pada kelapa sawit.
Ada kemungkinan bahwa kelapa sawit yang dihasilkan akan memberikan hasil yang lebih rendah karena efek stres akibat perubahan iklim sehingga akan dapat diserang lebih banyak penyakit per wilayah tanah dalam kelapa sawit. Peningkatan stres tanaman dari curah hujan yang tinggi akan terjadi dengan hasil panen lebih rendah dan ini akan menurunkan resistensi terhadap invasi jamur dan akibatnya akan meningkat infeksi penyakit (Peterson et al., 2013). 
Perubahn iklim yang terjadi ini tidak hanya menyebabkan perubahan pada tanaman, namun juga pada banyak mikroorganisme patogenik seperti jamur Ganoderma sehingga menyebabkan jamur patogen ini termasuk kedalam jamur penyebab Emerging Infectious Disease (EID) yang menyebabkan penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit. Penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit pertama kali ditemukan pada tahun 1915 di Zaire (Kongo) dan penyakit ini dianggap tidak menimbulkan kerugian yang berarti (Turner, 1981). Kemudian pada tahun 1920 juga dilaporkan di Afrika Barat. Selain di kedua negara tersebut selanjutnya, penyakit busuk pangkal batang juga dilaporkan ada di negara Angola, Kamerun, Ghana, Nigeria, Zambia, San Tome, Principe, Tanzania, dan Zimbabwe. Di negara-negara Afrika ini, busuk pangkal batang biasanya menyerang tanaman kelapa liar di hutan. Pada tahun 1931, penyakit busuk pangkal batang dilaporkan menyerang kelapa sawit di Malaysia pada tanaman berumur 25 tahun dan tetap tanaman berumur 25 tahun dan tetap dianggap penyakit tidak penting secara ekonomi. Tidak lama kemudian dilaporkan juga menyerang kelapa sawit di Indonesia. Di kedua negara ini kelapa sawit dibudidayakan secara besar-besaran serta iklimnya cocok bagi perkembangan Ganoderma,sehingga perkembangan penyakit busuk pangkal batang menjadi sangat pesat. Penyakit busuk pangkal batang juga muncul secara merata baik di tanah daerah pantai maupun tanah di daerah pedalaman. Di benua Asia, selain di kedua negara ini penyakit busuk pangkal batang juga ditemukan di India (Sengupta et al., 1990) dan Thailand (Tummakate & Likhitekaraj,1998).
Di Indonesia serangan BPB awalnya rendah pada tanaman kelapa sawit berumur 7 tahun, selanjutnya serangan meningkat sebesar 40% ketika tanaman kelapa sawit mencapai usia 12 tahun (Ariffin et al. 2000). Pada lahan generasi keempat serangan BPB terjadi lebih awal dan menyerang tanaman berumur 1 hingga 2 tahun (Sinaga et al. 2003). Susanto (2002) menyatakan bahwa penyakit BPB dapat menyerang bibit-bibit kelapa sawit sejak di persemaian. Hal ini diduga karena patogen penyebab BPB semakin menyebar pada lahan yang sering diremajakan. Pernyataan ini diperkuat oleh Subronto et al. (2003) bahwa pada lahan generasi pertama serangan penyakit ini sangat rendah, dengan bertambahnya generasi tanam berikutnya maka persentase serangan akan semakin tinggi, dan gejala penyakit sudah dapat terlihat pada awal pertumbuhan tanaman.
Awalnya, penyakit Ganoderma diduga menyerang tanaman menghasilkan saja, dan secara ekonomi tidak berbahaya dengan kejadian penyakitnya pada tanaman tersebut yaitu di bawah satu persen. Satu persen kehilangan hasil pada tanaman dapat dikompensasi dengan tanaman sehat di sekitarnya yang menyerap lebih banyak sinar matahari. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, Ganoderma telah menjadi salah satu masalah paling serius dalam budidaya kelapa sawit terutama pada satu atau lebih dari dua generasi tanam. Selain itu, Ganoderma saat ini menjadi masalah serius pada kelapa sawit generasi tua. Kejadian penyakit Ganoderma berkorelasi positif dengan generasi kebun kelapa sawit.
Hal di atas juga dilaporkan di dalam hasil penelitian Elfina dkk. (2011), bahwa patogen ini dapat juga menyerang bibit kelapa sawit pada saat pembibitan sehingga dikuatirkan dapat menjadi sumber inokulum di lapangan. Gejala penyakit yang ditimbulkan oleh jamur G. boninense pada bibit kelapa sawit adalah gejala klorosis yang pada mulanya terjadi pada pinggir daun dan selanjutnya klorosis membesar serta berubah menjadi warna coklat (nekrotik). Serangan yang parah pada bibit menyebabkan seluruh bagian daunnya dapat menjadi berwarna coklat kehitaman. Hal ini juga dinyatakan oleh Susanto dkk. (2005) bahwa sebelumnya jamur G. boninense hanya menyerang tanaman yang lebih tua, namun saat ini telah ditemukan pada tanaman yang lebih muda dengan gejala yang muncul lebih awal dan lebih berat, sehingga diperlukan suatu tindakan yang tepat.
Dengan demikian, penyakit busuk pangkal batang merupakan penyakit penting yang menyebabkan kehilangan hasil secara luas pada perkebunan kelapa sawit (Treu, 1998; Susanto, 2009), terutama di Indonesia dan Malaysia (Turner, 1981; Darmono, 1998). Di beberapa perkebunan di Indonesia, penyakit ini telah menyebabkan kematian kelapa sawit hingga 80% atau lebih dari populasi kelapa sawit, dan hal tersebut menyebabkan penurunan produk kelapa sawit per satuan luas (Susanto, 2002; Susanto et al., 2008).
Ada dua macam kerugian yang disebabkan oleh Ganoderma, kerugian langsung dan tidak langsung. Kerugian langsung berhubungan dengan produksi yang rendah karena kematian tanaman, sedangkan kerugian tidak langsung berhubungan dengan penurunan berat buah dari buah kelapa sawit. Ganoderma yang menyerang tanaman membuat berat batang tanaman menjadi berkurang yang pada akhirnya membuat tanaman menjadi tidak berbuah.

DAFTAR PUSTAKA
bisa menghubungi penulis ^_^ di https://www.facebook.com/Dandazy 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar