FAKTOR-FAKTOR
LINGKUNGAN
YANG
MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN EPIDEMIK
Rachmad Saputra
Program Studi S2
Fitopatologi
Fakultas
Pertanian Universitas Gadjah Mada
PENDAHULUAN
Faktor lingkungan secara telah dianggap
memiliki peranan besar pada perkembangan penyakit. Bahkan jika inang rentan dan
patogen yang virulen hadir di sebuah wilayah tertentu, situasi umum ketika
petani tidak memiliki pilihan selain untuk menanam inang tertentu, penyakit yang
serius tidak akan terjadi kecuali lingkungan sesuai dengan perkembangannya. Ini
mencakup baik lingkungan udara dan tanah (edafis). Langkah-langkah pengendalian
penyakit dengan teknik budidaya dan
kimia biasanya melibatkan beberapa manipulasi lingkungan untuk membuatnya
kurang menguntungkan bagi perkembangan penyakit (Keane and Kerr, 2014).
Faktor lingkungan dapat menghambat patogen dengan
cara mengurangi kemampuan hidup patogen. Hal ini telah digunakan sebagai metode
utama pengendalian penyakit daun pada gandum di Australia. Diawali dengan buah karya
William Farrer di akhir tahun 1800an, kultivar gandum Australia telah
dikembangkan untuk diadaptasi ke daerah yang lebih kering di Australia.
Lingkungan ini kurang menguntungkan bagi perkembangan penyakit karat daun dan penyakit embun tepung yang menginfeksi gandum di Eropa. Embun tepung yang disebabkan
oleh Blumeria graminis, terjadi pada tanaman gandum di bagian yang basah di
Australia (misalnya daerah pesisir), tetapi belum pernah menjadi masalah dalam
kering (Keane and Kerr, 2014).
Perlu diketahui bahwa sebagian besar
penyakit tanaman yang terjadi pada banyak jenis tanaman maupun lahan pertanian
biasanya tidak berkembang menjadi epidemi berat dan meluas. Tanaman inang
rentan dengan patogen virulen yang terdapat pada saat yang sama dalam suatu
areal tidak selalu menjamin terjadinya infeksi berat, tetapi dipengaruhi oleh serangkaian faktor-faktor
yang mengendalikan lingkungan tempat epidemi berkembang. Lingkungan dapat mempengaruhi tanaman
inang dalam bentuk: ketersediaan,
tingkat pertanaman, sukulensi, kerentanan genetik dan lain-lain. Patogen dapat dipengaruhi
lingkungan dalam bentuk : daya tahan hidup, laju reproduksi, sporulasi,
perkecambahan spora, arah penyebaran, jarak penyebaran dan lain-lain. Lingkungan mungkin juga
mempengaruhi jumlah dan aktivitas vektor.
Keterkaitan
antara faktor lingkungan dengan perkembangan suatu penyakit tanaman sangat
jelas terlihat seperti telah diaparkan di atas, dimana tanaman tumbuh pada
suatu media tumbuh dan pada suatu ruang atau wilayah yang membutuhkan cahaya
matahari, kelembaban dan udara serta berhubungan erat pula dengan keberadaan
organisme lainnya. Dengan demikian, perkembangan penyakit tanaman membutuhkan
unsur lingkungan berupa komponen ruang, lingkungan fisik, lingkungan
fisik-kimia dan lingkungan biotik serta waktu, baik secara langsung maupun
tidak langsung (Nurhayati, 2002).
FAKTOR LINGKUNGAN FISIK
Kelembaban
Kondisi cuaca
memiliki dampak yang besar pada perkembangan penyakit dan telah intensif
dipelajari sebagai prediktor wabah penyakit. Embun (ketersediaan air) merupakan
faktor lingkungan yang paling penting yang mempengaruhi wabah penyakit yang
disebabkan oleh jamur dan bakteri. Hal ini penting juga untuk nematoda Anguina spp. yang naik ke tanaman melalui
film air pada batang dan memarasiti jaringan tanaman yang berada di atas tanah.
Istilah kelembaban meliputi curah hujan (durasi dan intensitas), kelembaban
relatif, embun dan basahnya daun (durasi dan intensitas) serta percikan air
hujan dan air yang akan memberi pengaruh pada penyebaran propagul patogen juga
(Keane and Kerr, 2014).
Kelembaban yang
berlebihan, berlangsung lama atau terjadi berulangkali, baik dalam bentuk
hujan, embun atau kelembaban relatif merupakan faktor yang sangat membantu
perkembangan epidemi penyakit. Penyakit yang dipengaruhi kelembaban misalnya
penyakit yang disebabkan oleh jamur (bercak daun, hawar, embun tepung, karat,
antraknose), bakteri (bercak, hawar, busuk), dan nematoda.
Kelembaban
mempengaruhi pertanaman tanaman inang menjadi sukulen dan rentan, meningkatkan sporulasi
fungi dan perbanyakan bakteri. Kelembaban memberi kesempatan kepada banyak
jenis fungi untuk menghasilkan spora dan memunculkan bakteri ke permukaan tubuh
inang. Kelembaban juga memberi peluang spora berkecambah. Zoospora fungi, sel
bakteri dan nematoda akan berpindah tempat karena adanya air atau kelembaban
yang berlebihan. Oleh karena itu jika kejadian tersebut berulang-ulang atau
terjadi dalam waktu lama maka akan memperlancar terjadinya epidemi.
Kelembaban
rendah dalam beberapa hari, akan dapat mencegah terjadinya semua
langkah-langkah perkembangan penyakit, sehingga epidemi terhambat atau
terhenti. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh patogen soilborne (tular
tanah), misalnya Fusarium dan Streptomyces lebih merusak di daerah
kering dibanding di daerah lembab, tetapi jarang berkembang menjadi epidemi
penting. Epidemi penyakit yang disebabkan oleh virus dan mikoplasma, pengaruh
kelembaban lebih ke arak mempengaruhi aktivitas vektornya. Kelembaban yang
sangat tinggi akan menurunkan aktivitas aphid, wereng dan serangga vektor lain
(Agrios, 2005).
Kelembaban akan
mempengaruhi perkembangan penyakit. Sumber kelembaban ini dapat berasal dari
hujan, irigasi dan juga kelembaban relatif udara. Kelembaban sangat berpengaruh
terhadap perkembangan penyakit, karena patogen umumnya memerlukan adanya
lapisan air atau kelembaban tertentu untuk dapat melakukan infeksi atau
penetrasi pada inangnya. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh jamur sangat
memerlukan adanya lapisan air ataupun kelembaban untuk dapat bersporulasi dan
germinasi spora, bahkan untuk pelepasan sporanya (Nurhayati, 2002).
Adanya air
bebeas atau kelembaban relatif ini kebutuhannya tergantung pada patogen.
Beberapa patogen memerlukan air bebas atau kelembaban udara relatif sepanjang
hidupnya tetapi ada juga yang hanya memerlukan pada awal terjadi infeksi bahkan
beberapa patogen tidak begitu menghendaki keadaan yang basah untuk
perkembangnnya. Patogen yang memerlukan air bebas dan kelembaban yang tinggi
sepanjang siklus hidupnya antara lain adalah Phythophthora infestan penyebab penyakit late blight pada tanaman kentang. Beberapa bakteri seperti Erwinia dan Pseudomonas memerlukan keadaan basah dan kelembaban yang cukup
tinggi. Patogen tanah seperti Rhizoctonia
dan Sclerotium juga memerlukan
kelembaban tanah yang cukup tinggi walaupun jamur tersebut tidak menghendaki
penggenangan (Nurhayati, 2002).
Kelembaban, baik
sebagai kelembaban udara relatif maupun sebagai air bebas pada permukaan daun
tanaman memegang peranan yang sangat penting dalam epidemi penyakit tanaman.
Kelembaban yang tinggi akan mengakibatkan tanaman inang menjadi sukulen dan
rentan terhadap patogen. Lama dan tingkat kelembaban serta kebasahan pada daun
mempengaruhi produksi spora, perkecambahan spora, pertumbuhan dan daya tahan
hidup patogen sehingga akan memperluas tingkat serangan patogen (Nurhayati,
2002).
Beberapa patogen
akan mengakibatkan kerusakan lebih parah pada daerah yang cukup basah atau
lembab. Pada keadaan tersebut perkembangan ras patogen menjadi lebih cepat.
Kelembaban sangat berpengaruh C.
cassiicola dimana pelepasan konidia maksimum berlangsung pada kelembaban
sekitar 86% pada siang hari. Kelembaban optimum untuk perkecambahan spora
berkisar 96-100% atau daun basah, sedangkan pada kelembaban rendah (kecil dari
90%) akan menghambat perkecambahan . pada kelembaban 50% tidak akan terjadi
perkecambahan konidia setelah 24 jam. Miselia patogen juga akan tumbuh lebih
baik pada kelembaban lebih dari 95% dan akan tertekan pertumbuhannya pada
kelembaban lebih kecil dari 80% (Nurhayati, 2002).
Tingkat
kebasahan daun adalah prediktor penyakit yang lebih akurat bila dibandingkan
dengan periode curah hujan dan embun, meskipun ini sering menentukan periode kebasahan
daun dan digunakan sebagai prediktor praktis penyakit karena lebih mudah untuk
mengukur kebasahan daun. Seringkali kombinasi kebasahan daun (karena hujan dan deposisi embun) dan suhu
lingkungan sangat penting dalam menentukan proporsi propagul patogen yang
menginfeksi inang. Kebanyak patogen tular udara seperti jamur karat dan busuk daun
kentang memerlukan periode tanpa air pada permukaan daun untuk perkecambahan spora
dan infeksi. Proses perkecambahan dan infeksi membutuhkan waktu dan karena itu
tidak mengherankan bahwa durasi kebasahan daun memiliki pengaruh penting pada
infeksi. Intensitas kebasahan daun umumnya jarang dipertimbangkan dalam studi
perkembangan penyakit, tetapi banyaknya air yang terdiposit pada permukaan daun
mungkin tidak akan lebih kondusif kondusif untuk menginfeksi dibandingkan pada
kondisi air yang terdeposit ringan pada daun. Spora patogen tertentu (misalnya stripe rust pada gandum, Pucctnia striif ) mungkin tidak menjalin
kontak yang efektif dengan daun yang terlalu basah. Secara umum, perkecambahan
dan infeksi oleh embun tepung disukai lebih pada kondisi kelembaban tinggi
daripada kebasahan daun (Keane
and Kerr, 2014).
Periode kebasahan
daun yang diperlukan untuk infeksi maksimal dipengaruhi oleh suhu. Seringkali
periode kebasahan daun yang diperlukan untuk tingkat infeksi tertentu yang
lebih lama dalam dingin daripada di cuaca hangat. Perkecambahan dan infeksi biasanya
dipercepat oleh kondisi hangat. Sebuah contoh yang baik tentang bagaimana untuk
menghitung pengaruh suhu pada penyakit tanaman terlihat dalam banyak metode yang digunakan untuk memprediksi
kejadian penyakit kudis pada apel (Venturta
inaequatis). 'Mills Periode' menggabungkan data tingkat kebasahan daun dengan
data suhu dan menunjukkan kapan infeksi mungkin terjadi. Waktu yang lebih lama dari kebasahan
daun yang diperlukan untuk infeksi pada suhu rendah dari pada suhu tinggi
(Tabel 1).
Tabel 1. Beberapa contoh dari
“Mills Periods” yang mengindikasikan pengaruh suhu pada periode kebasahan daun
yang dibutuhkan untuk infeksi oleh Venturia
inaequalis.
Mean temperature over period (oC)
|
5,6
|
7,2
|
10
|
11,7
|
15
|
Duration of leaf wetness (h)
|
30
|
20
|
14
|
11
|
10
|
Hujan
Hujan mempunyai
peranan penting dalam perkembangan epidemi penyakit. Pada umumnya epidemi
penyakit timbul pada awal musim hujan karena patogen memerlukan kelembaban
tinggi dan kebasahan daun untuk perkembangannya. Hujan dapat membantu
pembebasan atau penyebaran patogen melalui percikan hujan dan pencucian spora
patogen dari permukaan tanah ataupun tanaman. Tetapi, hujan yang terjadi secara
terus menerus sehingga tanah menjadi terlalu lembab bahkan hingga tergenang
dapat mematikan atau menekan perkembangan patogen dan sebaliknya pada musim
kemarau tanah menjadi kering sehingga patogen menjadi mati (Nurhayati, 2002).
Hujan merupakan
faktor penting dalam mempengaruhi timbulnya serangan patogen. Seperti pada
kasus terjadinya epidemi gugur daun karet Corynespora yang disebabkan oleh C. cassiicola di Sumatera Selatan dan
Lampung pada tahun 2004di perkebunan karet yang terjadi pada kondisi cuaca agak
lembab (terjadi hujan panas secara terus menerus). Di daerah yang mempunyai
curah hujan yang merata sepanjang tahun atau di daerah dimana batas musim hujan
dan musim kemarau tidak begitu jelas, C.
cassiicola akan menimbulkan kerusakan yang berat dan tanaman akan meranggas
sepanjang tahun. Namun di daerah dengan baras musim hujan dan kemarau yang
jelas, maka serangan patogen dapat pula terjadi tetapi tanaman tidak mengalami
kerusakan berat dan peranggasan sepanjang tahunnya (Situmorang dan Budiman,
1984).
Pada kasus
kejadian penyakit lainnya, curah hujan juga dapat mempengaruhi perkembangan
penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman Acasia crassicarpa. Hal tersebut dilaporkan oleh Ernawati (2007) di
dalam laporan penelitiannya yang menunjukkan bahwa perkembangan penyakit hawar daun bakteri lebih cepat
pada bibit yang ditanam pada musim kemarau dibandingkan dengan musim hujan.
Persentase kejadian penyakit pada bibit yang ditanam pada musim kemarau 2
minggu lebih cepat mencapai 100% dibandingkan bibit yang ditanam pada musim
hujan (Gambar 1). Jumlah curah hujan mempengaruhi tingkat persentase kejadian
dan keparahan penyakit hawar daun dimana keparahan penyakit dari bibit yang
ditanam pada musim kemarau (22,47%) lebih tinggi dari bibit yang ditanam pada
musim hujan (9,27%).
Lebih
cepatnya perkembangan gejala penyakit dan lebih tingginya persentase kejadian dan
keparahan penyakit pada bibit yang ditanam pada musim kemarautidak terlepas
dari faktor lingkungan khususnya curah hujan (satu-satunya faktor lingkungan
yang diamati setiap harinya di pembibitan A. crassicarpa). Secara umum,
curah hujan pada musim kemaraujustru lebih tinggi dibandingkan pada musim hujan
selama percobaan berlangsung. Total curah hujan bulanan pada musim kemarau
berkisar antara 150,5-349,7 mm sedangkan pada musim hujan hanya berkisar antara
80,2-379,8 mm. Jumlah hari hujan pada musim kemarau hampir tidak berbeda selama
masa percobaan (53 hari) dibandingkan dengan pada musim hujan (50 hari) namun
intensitas curah hujan pada musim kemarau justru jauh lebih tinggi dibandingkan
pada musim hujan (Ernawati, 2007).
Suhu
Kadang-kadang
epidemi penyakit tanaman lebih berkembang karena pengaruh suhu yang
lebih rendah atau lebih tinggi dibanding dengan kisaran suhu optimum bagi
tanaman inang. Kisaran suhu tertentu dapat menurunkan tingkat ketahanan
horizontal dan pada tingkat tertentu mungkin dapat menurunkan bahkan mematahkan
ketahanan vertikal yang dibentuk oleh gen mayor. Tanaman yang tumbuh pada
keadaan kisaran suhu tersebut akan mengalami ‘stres’ dan terdisposisi terhadap penyakit,
sedangkan patogen tumbuh dengan lebih baik dibanding inangnya (Agrios, 2005).
Suhu juga dapat
menurunkan jumlah inokulum dan vektor yang dapat bertahan hidup. Pengaruh suhu
terhadap patogen biasanya pada tingkat-tingkat yang berbeda dari patogenesis,
misalnya pada: perkecambahan spora, penetrasi ke inang, pertanaman, reproduksi,
penyerangan inang atau pada sporulasi. Apabila pada tingkat kejadian, kisaran
suhu menguntungkan, maka patogen polisiklik dapat menyelesaikan daur
penyakitnya dalam waktu pendek dan tetap memberi peluang berkembangnya epidemi
(Agrios, 2005).
Suhu dapat mempengaruhi
inkubasi atau periode laten (waktu antara infeksi dan penampilan pertama gejala
penyakit), waktu generasi (waktu antara infeksi dan sporulasi) dan periode
menular (waktu di mana patogen terus memproduksi propagul). Pada suhu yang
lebih tinggi siklus penyakit dipercepat dengan hasil bahwa epidemi berkembang
lebih cepat. Di bawah kondisi dingin, kemajuan epidemi biasanya lebih lambat
sehingga kejadian penyakit dan tingkat keparahan mungkin tidak mencapai ambang
batas yang diperlukan untuk menyebabkan hilangnya tanaman yang signifikan.
Pada kasus
tertentu, penyakit tertentu berkembang pada temperatur di bawah temperatur
optimum inang maupun patogennya. Misalnya penyakit busuk akar hitam pada
tanaman tembakau yang disebabkan oleh Thielaviosis
basicola. Penyakit ini mengalami perkembangan secara optimal pada
temperatur 17 sampai 23oC, sedangkan temperatur optimalnya untuk
tembakau adalah 28-29oC dan untuk patogennya adalah 22-28oC.
karena tembakau tumbuh sangat lemah pada temperatur yang jauh di bawah
optimalnya, sehingga patogen lemahpun masih bisa menyerang tanaman tersebut.
Patogen lain yang juga berkembang pesat pada temperatur di bawah temperatur
optimum inang dan patogennya adalah Gibberella
zeae penyebab penyakit busuk akar pada tanaman jagung (Nurhayati, 2002).
Contoh penyakit
lainnya adalah penyakit stripe rust pada gandum yang merupakan penyakit karat yang terjadi pada daerah
bersuhu dingin. Pada kondisi suhu yang terlalu tinggi perkembangan penyakit menjadi
lambat yakni pada akhir musim semi atau awal musim panas Selain itu, ketahanan
tanaman dari banyak kultivar gandum dinyatakan lebih kuat pada suhu tinggi yang
juga mengurangi laju perkembangan epidemi.
Suhu memiliki
efek lebih besar pada perkembangan penyakit di daerah beriklim sedang daripada
di daerah tropis, di mana suhu relatif seragam sepanjang tahun. Namun, dalam
fluktuasi diurnal suhu tropis, yang lebih besar dari fluktuasi musiman, tidak
mempengaruhi patogen tanaman. Banyak patogen yang diinduksi untuk bersporulasi
di malam hari oleh kombinasi dari penurunan suhu dan peningkatan kelembaban
setelah malam tiba (Keane
and Kerr, 2014).
Epidemi yang besar
dari penyakit busuk daun kentang di Irlandia pada tahun 1840-an akibatdari inang
yang rentan, patogen agresif dan periode hangat yang berkepanjangan, cuaca
lembab yang mempertahankan daun basah pada kondisi ideal untuk infeksi oleh
patogen. Cuaca musim semi basah di Australia sangat cocok terhapap perkembangan
penyakit karat serealia. Periode kebasahan daun, bervariasi tergantung pada
suhu, dapat digunakan untuk memprediksi wabah di musim semi penyakit busuk
coklat buah batu yang disebabkan oleh Monilinia
jructicota. Periode tersebut, disebut sebagai periode infeksi, bisa digunakan
untuk memprediksi waktu ideal semprotan fungisida untuk mengendalikan penyakit.
Sebuah pendekatan yang sama untuk pengendalian penyakit berlaku untuk penyakit downy mildews dan powdery mildews di kebun-kebun anggur di seluruh Australia selatan (Keane and Kerr, 2014).
Di Indonesia,
perbedaan temperatur yang nyata hanya terdapat antara dataran rendah yang
bersuhu lebih tinggi dan dataran tinggi yang bersuhu lebih rendah, dimana
masing-masing lokasi tersebut memiliki pola perkembangan penyakit yang biasanya
berbeda. Sebagai contoh tingkat keparahan penyakit gugur daun karet
Corynespora. Pada perkebunan karet yang terletak di tempat yang lebih tinggi
yang bersuhu lebih rendah, meskipun mengalami serangan namun pengguguran daun
tanaman jarang terjadi. Keadaan suhu yang lebih rendah diduga merupakan faktor
penghambat bagi perkembangan patogen. Beberapa hasil pengamatan menunjukkan
bahwa cuaca lembab atau mendung dengan curah hujan merata sepanjang hari serta
suhu udara 26-29oC akan membantu perkembangan penyakit gugur daun
Corynespora di lapangan, sedangkan pada suhu 30 dan 35oC akan
terhambat perkembangannya. Infeksi dapat terjadi pada kisaran suhu 20-35oC
dengan suhu optimum 25oC. jika udara jenuh, infeksi dapat terjadi
tanpa adanya air (Nurhayati, 2002).
Contoh lainnya
dapat dilihat pada perkembangan penyakit karat tumor pada sengon. Tanaman
sengon yang tumbuh di tempat tinggi seperti di lereng bukit maupun gunung,
berpeluang mendapatkan serangan karat tumor lebih besar dibanding tanaman
sengon yang tumbuh di tempat rendah dan rata. Pada dasarnya, ketinggian tempat
bukanlah faktor utama yang dapat meningkatkan resiko terjadinya serangan jamur
karat ini. Namun kondisi lingkungan seperti misalnya kelembapan yang tinggi,
angin yang perlahan serta adanya kabut, umumnya terdapat di lokasi yang relatif
tinggi (Rahayu, 2008).
Selain
temperatur udara, temperatur tanah berperan penting dalam perkembangan penyakit
yang patogennya hidup di dalam tanah (soil
borne pathogen). Itulah sebabnya mengapa jamur Rhizoctonia solani dan nematoda Meloydogyne
incognita menyerang inangnya pada temperatur tanah yang kritis dan jumlah
inokulum banyak.
Cahaya
Cahaya
berpengaruh terhadap proses infeksi, sporulasi, pelepasan spora dan penyebaran
spora. Banyak patogen yang memerlukan cahaya dengan gelombang tertentu untuk
bersporulasi dan untuk pelepasan sporanya. Radiasi dan cahaya mempunyai peranan
bagi perkembangan epidemi dan biologi patogen. Siklus hidup patogen dapat
berubah dengan berubahnya periode cahaya terang dan gelap. Infektivitas konidia
beberapa patogen dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Cahaya ultraviolet (UV) dapat menekan perkembangan
patogen dalam waktu tertentu dan dapat mengakibatkan pembentukan spora patogen
(Nurhayati, 2002).
Pengaruh cahaya terhadap patogten bersifat langsung dan tidak
langsung. Secara tidak langsung cahaya berpengaruh terhadap kelembapan, dan secara
langsung cahaya berpengaruh terhadap
patogen yang berada di luar jaringan tanaman. Cahaya tampak (visible light)
yang secara kasarnya mempuntyai panjang gelombang 400 — 800 nm, hanya sedikit
berpengaruh terhadap perkecambahan spora, kecualai apabila cahaya tersebut sangat tinggi intensitasnya sehingga
sifatnya menjadi memanaskan (Semangun, 2006).
Pada jamur
tertentu, misalnya Uredinales, perkecambahan spora dihambat oleh sinar. Pada
penelitian dengan memakai filter-filter diketahui bahwa makin besar panjang
gelombangnya, hambatannya semakin efektif. Jadi, spektrum merah, jingga dan
kuning adalah efektif, sedangkan radiasi yang mempunyai energi lebih tinggi
dalam daerah biru adalah tidak efektif. Mungkin sekali ini berhubungan dengan
adanya pigmen dalam spora-spora itu (Semangun, 2006)
Spora yang basah
dan spora yang sudah mulai berkecambah lebih peka oleh hambatan cahaya . Cahaya
cahaya akan menyebabkan pembuluh
kecambah membelok menjauhi sumber cahaya (fototropisme negatif). Hal ini terjadi karena
dinding proksimal pembuluh kecambah dipercepat perkembangannya. Radiasi cahaya lembayung juga dapat menyebabkan jamur
mengalami mutasi atau kematian, dan pengaruh yang paling besar terjadi pada
panjang gelombang 265 nm (Semangun, 2006).
Angin
Angin sangat
berperan untuk membantu pelepasan dan penyebaran konidia. Dengan arus angin
atau tekanan turbulensi, konidia akan terlepas dari konidiofor. Selanjutnya,
dengan arus angin tersebut konidia akan terangkut ke tempat yang jauh dan
disebarkan ke wilayah yang luas. Selain itu, dengan arus angin yang berputar
konidia yang terdapat pada tanaman karet yang rentan atau dipermukaan tanah
dapat diangkut ke tajuk tanaman yang tingginya dapat mencapai 13-15 meter
(Nurhayati, 2002).
Spora patogen
yang terdapat diudara sangat bergantung pada kecepatan dan arah angin untuk
dapat menemukan inangnya terutama bagi patogen seperti jamur yang menghasilkan spora
kering dimana letak sporofornya agak menonjol dipermukaan. Contohnya
konidiospora Helmintosporium maydis
penyakit hawar hawar daun jagung. Angin
yang kencang juga dapat menyebabkan terjadinya luka mekanik yang
menguntungkan patogen-patogen luka dan air
borne untuk dapat menginfeksi inangnya. Namun demikian, hembusan angin yang
terlalu kencang juga diketahui dapat mempercepat keringnya permukaan tanaman
sehingga bila ada patogen yang sedang dalam proses infeksi dapat menggagalkan
proses tersebut (Nurhayati, 2002).
FAKTOR
LINGKUNGAN FISIK-KIMIA
Reaksi
kimiawi di tanah
Keasaman tanah
(pH) berperan penting dalam terjadi dan keganasan panyakit tumbuhan yang
disebabkan oleh beberapa jenis patogen tertular tanah (Agrios, 2005). pH tanah
berpengaruh terhadap perkembangan penyakit karena dapat menciptakan keadaan
yang tidak disukai patogen. Di daerah segunung Cipanas Jawa Barat pada pH
netral (6,5-7,0) intensitas serangan kudis yang disebabkan oleh Streptomyces scabies pada umbi kentang
akan lebih berat. Sebaliknya apabila pH tanah cukup masam (5,2 kebawah), maka
tanaman akan terbebas dari serangan patogen tersebut. Berbeda pula pada
penyakit karat kubis yang disebabkan oleh Plasmodiophora
brassicae, dimana penyakit akan berkembang pesat pada pH masam dan tertekan
apabila pH tanah netral atau basa. Rhizoctonia
sp. akan berkembang dengan pesat pada kemasaman tanah antara 5,8-8,1 dengan
suhu tanah 15-18oC (Nurhayati, 2002).
Pupuk
Kimia
Nutrisi tanaman
berperan dalam perkembangan penyakit tanaman. Pengaruh nutrisi lebih pada
pengaruhnya terhadap ketahanan tanaman terhadap patogen. Hal ini karena pada
kondisi tanaman kekurangan nutrisi, akan memberikan keuntungan kepada patogen
dalam menginfeksi tanaman. Beberapa unsur makro yang diketahui sangat esensial
bagi tanaman adalah N, P dan K. Pada beberapa kasus, kelebihan atau kekurangan suatu
unsur tertentu dapat meningkatkan ketahanan terhadap ketahanan patogen atau
sebaliknya bahkan menurunkan ketahanan terhadap petogen (Nurhayati, 2002).
Unsur N akan
menyebabkan bertambahnya masa vegetatif tanaman, sehingga masa rentan menjadi
lebih panjang dan kerugian menjadi lebih besar. Kelebihan unsur N juga akan
menyebabkan tanaman menjadi lebih sukulentis sehingga perkembangan patogen
menjadi lebih baik (Semangun, 2006). Sebaliknya, tumbuhan yang mengalami
kekurangan unsur N akan tumbuh lebih lemah, lebih lambat dan lebih cepat tua
dan rentan terhadap patogen (Agrios, 2005). Sebagai contoh, pemberian unsur
nitrogen yang berlebihan akan mengakibatkan tanaman tumbuh subur dan sukulen
sehingga lebih rentan terhadap serangan patogen, seperti misalnya penyakit fire blight pada buah pir yang
disebabkan oleh Erwinia amylovora akan
meningkat apabila dipupuk dengan nitrogen dalam jumlah yang tinggi. Demikian
juga serangan Puccinia striiformis penyebab
penyakit karat pada gandum (Nurhayati, 2002).
Penyakit blas pada tanaman padi yang disebabkan oleh Pyricularia oryzae juga dipicu oleh
pemupukan N yang terlalu tinggi (Andoko, 2002). Namun demikian, pada kasus
serangan C. cassiicola, penambahan
unsur N akan mempercepat pertumbuhan daun-daun karet yang baru muncul sehingga
terhindar dari serangan patogen tersebut (Nurhayati, 2002).
Kejadian
penyakit selanjutnya akan berbeda dengan kejadian penyakit di atas, dimana pada
tanaman tomat yang kekurangan nitrogen akan mengakibatkan serangan Alternaria solani meningkat. Pemupukan
nitrogen dalam jumlah yang tinggi yang disertai dengan pemberian unsur fosfor
dalam jumlah rendah dapat menekan penyakit yang disebabkan oleh A. solani pada pertanaman kentang.
Umumnya pemberian unsur hara yang seimbang akan membantu pertumbuhan tanaman
yang optimal sehingga tanaman yang lebih mampu mempertahankan diri dari
serangan patogen (Nurhayati, 2002).
Unsur K
berfungsi untuk memacu perkembangan jaringan mekanis sehingga menjadi lebih
kuat dan hal ini akan menghambat perkembangan patogen (Semangun, 2006). Agrios
(2005) menyatakan bahwa kalium telah menunjukkan terjadinya penurunan berat
beberapa penyakit yang meliputi karat batang pada gandum, early blight pada tomat dan busuk batang pada jagung, walaupun
jumlah kalium yang tinggi nampaknya meningkatkan serangan penyakit blast pada
padi yang disebabkan oleh Pyricularia
oryzae.
Unsur posfor
memperlihatkan terjadinya penurunan berat penyakit take-all pada barley yang disebabkan oleh Gaeumannomyces graminis dan kudis kentang yang disebabkan oleh s. scabies, tetapi meningkatkan serangan
penyakit cucumber mozaic virus pada
kacang tanah dan bisul glume (yang
disebabkan oleh Septoria) pada
gandum. Pospor nampaknya meningkatkan ketahanan tanaman melaui peningkatan
keseimbangan hara atau mempercepat kematangan tanaman dan memungkinkan
terhindar dari infeksi patogen yang lebih menyukai jaringan muda (Agrios,
2005).
Pestisida
Penggunaan pestisida
pada umumnya adalah untuk menekan perkembangan penyakit tanaman, namun pada
kenyataannya saat ini penggunaan pestisida tersebut mengakibatkan timbulnya
strain-strain patogen yang baru dan yang lebih virulen sehingga membuka peluang
terjadinya epidemi. Pengaruh lainnya dari penggunaan pestisida ini adalah
mengakibatkan tidak saja matinya patogen tertentu tetapi juga mematikan mikroorganisme
yang bermanfaat bagi tanaman (Nurhayati, 2002).
Agrios (2005)
melaporkan bahwa pada beberapa kasus penggunaan herbisida telah meningkatkan
serangan penyakit tertentu pada beberapa jenis tanaman. Sebagai contoh, R. solani pada gula bit dan kapas, layu Fusarium pada tomat dan kapas, busuk batang Sclerotium pada berbagai jenis tanmaan. Dalam kombinasi
inang-patogen lain, herbisida nampaknya menurunkan serangan penyakit busuk akar
Aphanomyces euteiches pada kacang
kapri, busuk kaki Pseudocecosporalles
herpotrichoides pada gandum dan busuk leher akar Phytophthora pada berbagai jenis tanaman.
Herbisida
nampaknya berperan pada penyakit tumbuhan baik secara langsung dengan
mempengaruhi (merangsang atau menghambat) pertumbuhan patogen atau meningkatkan
atau menurunkan ketahanan inang dan secara tidak langsung dengan meningkatkan
atau menurunkan aktivitas mikroflora tanah, dengan menyingkirkan atau
menseleksi inang-inang alternatif patogen, atau dengan merubah iklim mikro pada
kanopi tanaman (Agrios, 2005).
FAKTOR
LINGKUNGAN BIOTIK
Yang dimaksud
dengan lingkungan biologi di sini terutama adalah berbagai organisme yang
berperan dalam menentukan keberhasilan suatu infeksi oleh patogen. Keberadaan
mikroorganisme pada permukaan daun berpengaruh terhadap perkembangan patogen
yang menyerang tanaman tersebut. Mikroorganisme tersebut menggunakan eksudat
daun tersebut. Meskipun keberadaan mikroorganisme bersifat negatif (patogenik).
Interaksi antara nematoda dengan beberapa jenis jamur seperti Fusarium, dan
Phytophthora, maupun dengan bakteri seperti Pseudomonas ternyata mampu
meningkatkan tingkat keparahan penyakit bila dibandingkan dengan apabila
patogen tersebut menyerang secara individu. Selain itu beberapa patogen seperti
jamur, nematoda, dan tumbuhan tinggi parasitik juga mampu berperan sebagai
vektor virus sehingga juga akan meningkatkan tingkat keparahan penyakit yang
disebabkan oleh virus tersebut.
Selain
mikroorganisme patogenik, ada pula mikroorganisme yang bersifat positif bagi
tanaman. Keberadaan organisme di sekitar tanaman yang bersifat positif bagi
tanaman ini juga dapat bersifat negatif bagi patogen, dimana ini merupakan
prinsip yang digunakan oleh para ahli dalam pengendalian penyakit tanaman
secara biologis (biological control).
Keberadaan mikroorganisme sebagai agen pengendali tersebut adalah untuk
mengendalikan populasi suatu patogen sehingga dapat menekan terjadinya epidemi.
REFERENSI
bisa menghubungi penulis ^_^ di https://www.facebook.com/Dandazy
untuk referensinya, bisa lebih jelas?
BalasHapusreferensi tolong dicantumkan
BalasHapus