Ganoderma boninense PENYEBAB PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG PADA TANAMAN
KELAPA SAWIT DAN PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KEJADIAN EMERGING INFECTIOUS DISEASE
Rachmad
Saputra
Program Studi
Magister Fitopatologi
Fakultas
Pertanian Universitas Gadjah Mada
PENDAHULUAN
Kelapa
sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) merupakan tanaman komoditas
perkebunan
yang penting di Indonesia sebagai penghasil minyak nabati beserta
beberapa
produk turunan lainnya. Pada saat Indonesia mengalami krisis ekonomi,
industri
kelapa sawit merupakan salah satu agroindustri andalan yang
menghasilkan
devisa bagi negara. Disamping itu, krisis energi yang melanda
dunia
mengharuskan kita untuk mencari energi alternatif yang dapat diperbaharui
(renewable
energy). Potensi minyak kelapa sawit sebagai salah satu bahan baku
biofuel
menggantikan
bahan bakar minyak bumi atau fosil membuat permintaan
akan
minyak kelapa sawit dunia semakin tinggi. Sejak tahun 2007, Indonesia
merupakan
produsen Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia, dengan rata-rata
produktivitas
2,6 ton CPO/ ha/ tahun (Dahuri 2008).
Industri
kelapa sawit merupakan salah satu agroindustri andalan penghasil
devisa
negara, karena ditinjau dari segi ekonomi harga minyak dunia telah
mencapai
US$ 136,04/barrel, selain itu industri kelapa sawit
berperan
dalam menyediakan kebutuhan minyak dalam negeri, dan mampu
menyerap
tenaga kerja hingga lebih dari 3,5 juta orang (Depperin 2007).
Salah satu masalah utama yang dihadapi perkebunan kelapa sawit di
Indonesia adalah penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan Ganoderma Boninense.
Penyakit ini sangat merugikan dan dapat menyebabkan kematian kelapa sawit. Saat
ini serangan penyakitnya semakin berat dan laju infeksinya makin cepat.
Penyakit ini sukar dikendalikan karena sifatnya yang menular melalui tanah.Saat
ini Ganoderma sudah bisa
ditemukan hampir di semua kebun kelapa sawit di Indonesia walau kejadian
penyakitnya bervariasi.Perkembangan cepat penyakit ini tidak hanya di
lahan mineral tetapi juga di lahan gambut. Pada tanah yang miskin unsur hara di
laporkan kejadian penyakitGanoderma lebih
besar.
Subtrat Ganoderma di perkebunan kelapa sawit sangat
melimpah. Inang alternatif penyakit ini sangat luas. Dihutan, jamur ini
menyerang tanaman berkayu. Jamur ini juga menyerang tanaman palem-paleman lain
seperti kelapa. Saat ini dilaporkan akasia di Hutan Tanaman Industri (HTI) juga
terserang Ganoderma.
Seperti umumnya patogen tular
tanah, keberadaannya dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang sangat kompleks,
apalagi penyakit BPB bersifat sistemik dan monosiklik (Sinaga et al. 2003).
Patogen tular tanah mempunyai kemampuan saprofitik yang tinggi dan parasitik
fakultatif dengan kisaran inang yang luas, memiliki beberapa macam stuktur
patogen untuk bertahan dalam keadaan lingkungan yang kurang mendukung
perkembangannya; seperti miselia resisten, basidiospora, dan klamidospora;
serta dapat bertahan lama di dalam tanah meskipun tidak ada inang (Sinaga et
al. 2003). Dengan demikian patogen tidak kesulitan untuk mendapatkan
makanan untuk membangun inokulum yang cukup banyak sehingga mampu melakukan
infeksi pada tanaman maupun untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya
(Semangun 2008).
Saat ini penyakit busuk pangkal
batang sudah merupakan penyakit yang penting, terutama pada kebun-kebun kelapa
sawit yang telah mengalami peremajaan. Semakin sering suatu kebun telah
mengalami peremajaan maka semakin tinggi persentase kejadian penyakit BPB. Hal
ini terjadi karena setelah cendawan menginfeksi tanaman, areal pertanaman akan
terus terkontaminasi dan inokulum patogen akan terakumulasi sejalan dengan
semakin seringnya penanaman kelapa sawit (Susanto et al. 2005).
PENYAKIT
BUSUK PANGKAL BATANG KELAPA SAWIT
Penyakit busuk pangkal batang merupakan
penyakit penting pada tanaman kelapa sawit di Indonesia yang disebabkan oleh
jamur G. boninense (Semangun, 2006).
Secara sistematika G. boninense
tergolong ke dalam kingdom: Fungi atau Mycota, fylum: Basidiomycota, kelas:
Basidiomycetes, ordo: Polyporales, famili: Polyporaceae, divisi: Eymycophyta,
genus: Ganoderma dan spesies: boninense
(Yanti dan Susanto, 2004). Secara mikroskopis basidiospora G. boninense adalah uniselular, haploid, berbentuk ellipsoid, bujur
atau truncate. Jing (2007) melaporkan
bahwa massa spora G. boninense berwarna
pirang kekuningan. Panjang basidiospora adalah 7,1-13,8 μm dan lebar 4,8-8,3
μm.
Penyakit ini telah menimbulkan kematian sampai
50% dari populasi tanaman di beberapa kebun kelapa sawit di Indonesia, sehingga
mengakibatkan penurunan produksi kelapa sawit per satuan luas (Turner, 1981).
Semangun (2008) menyatakan bahwa di Sumatra Utara, kebun kelapa sawit yang
setengah umur (± berumur 15 tahun) kadang-kadang setengah dari pohonnya mati.
Gurmit (1990) dalam Jing (2007) juga
melaporkan bahwa penyakit ini dapat menimbulakn kematian hingga 85% populasi
tanaman kelapa sawit pada umur 25 tahun.
MEKANISME
INFEKSI
Infeksi
jamur Ganoderma di lapangan berawal
dari adanya persentuhan akar tanaman yang sehat
dengan jaringan akar tanaman yang telah terserang di dalam tanah atau batang
kelapa sawit yang telah terinfeksi jamur Ganoderma yang dibiarkan membusuk di kebun
(sebagai sumber inokulum Ganoderma) di mana jamur Ganoderma masih
hidup sebagai saprofit. Untuk suksenya penetrasi dan degradasi akar sehat yang
utuh, produksi sebuah susunan enzim-enzim pendegradasi dinding sel sangat
dibutuhkan untuk melakukan penetrasi jaringan akar yang terluar yang tersusun
atas polimer selulosa yang kuat, lignin dan suberin. Aktifitas enzim oleh jamur
G. boninense yang sesuai untuk lignin
dan keseluruhan polimer utama lainnya dari penyusun dinding sel terdeteksi
bersama dengan efeknya pada komposisi dinding inang selama infeksi G. boninense. Satu bulan setelah
inokulasi pemutihan pada akar tampak jelas mengikuti miselium yang mungkin
mencerminkan kerusakan oksidatif lignin
(Cooper, 1984 dan Rees, 2006 dalam
Cooper and Rees, 2011).
Di
bagian akar, miselium jamur Ganoderma
berada dalam sel empulur, korteks, endodermis perisikel dan parenkima. Jamur
ini akan menginfeksi dan bergerak dalam akar menuju ke pangkal batang tanaman
kelapa sawit. Menurut Ariffin dkk. (1989) dalam Jing (2007), pada bagian batang
yang terinfeksi, terdapat suatu garis hitam (black line) yang
memisahkan antara jaringan yang terinfeksi dengan yang sehat. Munculnya garis
hitam pada bagian batang ini terjadi karena enzim-enzim yang dikeluarkan oleh
jamur Ganoderma. Beberapa
spesies Ganoderma memproduksi enzim amylase, ekstraseluler, oksidase,
invertase, koagulase, protease, renetase, pektinase, dan selulose. G. boninense memproduksi manganese
peroksidase (MnP) dan lakase. Jamur yang tergolong kelompok jamur busuk putih
memproduksi sistem lignolitik yang tidak spesifik yang terdiri dari peroksidase
dan lakase (phenol oksidase: LAC), yang melakukan proses oksidasi.
Kolonisasi
dan infeksi jamur Ganoderma dalam
jaringan akar dan batang pohon kelapa sawit yang telah terinfeksi menyebabkan
timbulnya gejala penyakit pada daun. Kajian histopatologi yang telah dijalankan
menunjukkan jamur Ganoderma merupakan
penyakit vaskular, di mana invasi jamur ini melalui pergerakan miselium dalam
floem dan xilem. Kehadiran miselium dalam jaringan vaskular inilah yang
mengganggu proses pengambilan air dan makanan. Oleh karena itu, timbulnya
gejala penyakit di bagian pucuk dan pelepah.
Semangun
(2008) menyatakan bahwa gejala pohon kelapa sawit yang diserang oleh G. boninense dapat diketahui dari
mahkota pohon. Pohon sakit mempunyai janur (daun yang belum membuka) lebih
banyak dari pada yang biasa. Daun bewarna hijau pucat, daun-daun tua layu,
patah pada pelepah dan menggantung di sekitar pohon. Gejala yang khas, sebelum
terbentuknya tubuh buah jamur adalah adanya pembusukan pada pangkal batang.
Penyakit menyebabkan busuk kering pada jaringan batang bagian dalam. Bagian
yang terserang tersebut bewarna coklat muda dengan jalur-jalur tidak teratur
yang bewarna gelap. Jalur-jalur gelap yang disebut zone-zone reaksi adalah
tempat timbulnya blendok. Di tepi daerah yang terinfeksi terdapat zona yang
tidak teratur yang bewarna kuning. Zona ini berbau seperti minyak yang telah
mengalami fermentasi akibat dari mekanisme perlawanan tanaman terhadap infeksi
patogen.Pada sel yang
berdekatan dalam garis hitam tersebut, hifa jamur G. boninense akan membentuk struktur tahan berupa klamidospora.
Kemampuan patogen ini membentuk struktur tahan dalam jaringan tersebut
merupakan suatu mekanisme yang menyebabkan jamur ini dapat bertahan lama.
Turner (1981) melaporkan bahwa fungsi
basidiospora Ganoderma dalam
penyebaran penyakit masih belum jelas. Dengan penyebaran yang begitu luas,
diperkirakan setiap pohon kelapa sawit dalam satu kebun akan terinfeksi
penyakit BPB jika basidiospora menyebarkan infeksi. Percobaan untuk
menginokulasi jamur tanaman kelapa sawit yang sehat dengan spora dan kajian
ukuran inokulum telah menunjukkan bahwa spora tidak mempunyai kemampuan
inokulum yang mencukupi untuk menyebabkan infeksi terus pada pohon kelapa
sawit. Namun, basidiospora memainkan peranan dalam menyebarkan penyakit.
Basidiospora tidak selalu membentuk miselium sekunder dan tubuh buah karena
memerlukan tipe perkawinan yang sama. Basidiospora dibebaskan dan menyebar
secara besar-besaran pada pukul 22.00-06.00, dan lebih sedikit pada pukul
12.00-16.00. Pemencaran ini juga dibantu oleh kumbang Oryctes rhinoceros yang
larvanya umum ditemukan pada batang kelapa sawit yang busuk.
Ganoderma
menyebar dalam tanah melalui akar dan melalui udara. Studi kompatibilitas telah
menunjukkan bahwa jamur dikumpulkan dari bidang atau wilayah yang sama mungkin
memiliki asal yang berbeda sehingga pertumbuhan miselium mungkin bukan
satu-satunya metode penularan penyakit di antara pohon-pohon. Basidiomycetes,
seperti Ganoderma, memiliki dua
strategi untuk reproduksinya, yakni spora dan miselia (Miller, 1995 dalam Hushiarian et al., 2013).
Meskipun
basidiospora pasti terlibat dan ada bukti bahwa mereka mampu untuk berkecambah
pada pemotongan batang di perkebunan, tidak ada infeksi yang berhasil menyerang
kelapa sawit dengan basidiospora (Hasan et
al., 2005; Idris, 2013 dan Cooper et
al., 2011 dalam Hushiarian et al., 2013). Alasan untuk hal tersebut
sepertinya adalah agresifitas G.
boninsense yang rendah dan kebutuhan inokulum yang besar (Rees et al., 2007 dalam Hushiarian et al.,
2013).
Angin,
hujan dan serangga, semuanya membantu untuk membawa spora untuk menimbulkan
luka di pohon, dan paling sering pada pohon yang telah dipotong. Secara khusus,
kumbang Oryctes dan larva Sufetula spp setidaknya memainkan peran
kecil dalam penyebaran spora Ganoderma.
Percobaan di mana sejumlah besar spora Ganoderma
yang dirilis di lapangan tetapi tidak menginfeksi sebagian besar pohon telah
menunjukkan bahwa jaringan terinfeksi di dalam tanah lebih mungkin untuk
menyebarkan penyakit ke akar sehat daripada spora udara (Genty et al., 1976 dan Ho dan Nawawi, 1986 dalam Hushiarian et al., 2013). Dengan demikian, meskipun tidak semua ilmuwan setuju
tentang bagaimana tanaman kelapa sawit terinfeksi dan bagaimana penyakit
menyebar dan banyak pula penelitian termasuk upaya untuk menyuntik dan
menginfeksi kelapa sawit dengan basidiospora tidak berhasil (Hasan dan Banjir,
2003 dalam Hushiarian et al., 2013),
Siklus hidup jamur Ganoderma dapat dirincikan seperti pada Gambar 1. (1) Basidiospora
yang haploid dihasilkan oleh basidium. (2) Basidiospora berkecambah menjadi
miselium manokarion. Dua monokarion yang serasi bertemu, pertautan hifa dan
plasmogami terjadi dan menghasilkan hifa dwikarion. (3) dan (4) Mekanisme
dwikariotisasi terjadi di mana jepit penghubung (clamp connection) terbentuk pada miselium baru. (5) Seterusnya
basidiokarpa terbentuk. (6) Lapisan himenium terbentuk dan (7) basidium
terbentuk. (8) Kariogami terjadi dalam basidium dan (9) setelah meiosis, empat
nukleus haploid terbentuk. (10) Pembentukan empat tonjolan merupakan proses
awal pembentukan basidiospora. Seterusnya setiap nukleus bergerak ke tonjolan
dan akhirnya empat basidiospora terhasil pada ujung basidium (Esser &
Kuenen, 1967 dalam Hushiarian et al., 2013).
PERUBAHAN IKLIM DAN EMERGING INFECTIOUS DISEASE DISEBABKAN OLEH
G. boninense
Perubahan iklim akan menimbulkan
ketidakpastian dalam produksi kelapa sawit dan akan meningkatkan jangkauan dan
tingkat keparahan penyakit tanaman penting di seluruh dunia dalam 20 tahun ke
depan (Miraglia et al, 2009),
meskipun perubahan iklim benar-benar dapat menurunkan keparahan epidemi dalam
beberapa kasus (Chakraborty et al., 1998).
Perubahan iklim akan menyebabkan sistem
produksi pertanian akan menurun drastis khususnya di Sub Sahara Afrika dan Asia
Selatan yang menunjukkan bahwa akan berkurang untuk penanaman kelapa sawit.
Cuaca akan menyebabkan kekeringan yang lebih intens dan lebih lama di daerah tropis
dan sub-tropis, dengan jumlah orang yang terkena dampak yang terbesar di
mega-delta Asia dan Afrika. Daerah pesisir akan berada di risiko terbesar
karena meningkatnya banjir. Produktivitas tanaman secara umum diproyeksikan
menurun dengan peningkatan suhu lokal kecil di daerah tropis (Easterling et
al., 2007). Kenaikan permukaan laut diproyeksikan untuk memperluas bidang
salinasi air tanah dan muara, sehingga penurunan ketersediaan air tawar pesisir
untuk sistem pertanian termasuk kelapa sawit. Akhirnya, pulau-pulau kecil
sangat rentan terhadap efek perubahan iklim, kenaikan permukaan laut dan
kejadian-kejadian ekstrim, relevan terutama ke negara-negara seperti Indonesia
(Tirado et al., 2010).
Model dalam IPCC (2007) menunjukkan bahwa
kenaikan suhu (1-3oC), dengan peningkatan CO2 terkait dan perubahan
curah hujan, dapat memiliki dampak yang besar di daerah tropis, di mana bahkan
sedikit pemanasan (1-2oC) akan mengurangi hasil. Pemanasan lebih
lanjut (di atas 1-3oC) akan berdampak semakin negatif terhadap
produksi pangan global (Easterling et al., 2007). Sebagai contoh, kekeringan,
banjir dan lebih suhu tinggi berdampak pada kerentanan tanaman terhadap serangan
jamur mengurangi stabilitas makanan dan berlaku untuk penyakit yang disebkan
jamur pada kelapa sawit.
Suhu, kelembaban, dan sinar matahari akan
mempengaruhi kelangsungan hidup patogen sehingga mampu hidup mandiri di luar
inangnya (Peterson et al., 2013).
Noor et al. (2011) menemukan bahwa
suhu tanah terkait dengan kelapa sawit adalah 27,25oC dan bahwa suhu
daun ini sangat serupa pada 27.69oC. Tanah kadar air setinggi
26,52%. Semua suhu tersebut akan menguntungkan untuk penyakit yang
disebabkan jamur seperti Ganoderma. Rees et al. (2007) menetapkan
bahwa suhu tanah di bawah sinar matahari sering naik di atas 40oC
dan mencapai 45oC, sedangkan di bawah naungan tidak pernah melebihi
32oC. Para peneliti menduga bahwa G. boninense dihambat di tanah terbuka. Oleh karena itu, pengukuran
suhu lebih diperlukan, seperti penilaian dari fisiologi pertumbuhan jamur
patogen pada kelapa sawit.
Ada kemungkinan bahwa kelapa sawit yang
dihasilkan akan memberikan hasil yang lebih rendah karena efek stres akibat
perubahan iklim sehingga akan dapat diserang lebih banyak penyakit per wilayah
tanah dalam kelapa sawit. Peningkatan stres tanaman dari curah hujan yang
tinggi akan terjadi dengan hasil panen lebih rendah dan ini akan menurunkan
resistensi terhadap invasi jamur dan akibatnya akan meningkat infeksi penyakit (Peterson
et al., 2013).
Perubahn iklim yang terjadi ini tidak hanya
menyebabkan perubahan pada tanaman, namun juga pada banyak mikroorganisme
patogenik seperti jamur Ganoderma sehingga
menyebabkan jamur patogen ini termasuk kedalam jamur penyebab Emerging Infectious Disease (EID) yang
menyebabkan penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit. Penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit pertama kali ditemukan
pada tahun 1915 di Zaire (Kongo) dan penyakit ini dianggap tidak menimbulkan
kerugian yang berarti (Turner, 1981). Kemudian pada tahun 1920 juga dilaporkan
di Afrika Barat. Selain di kedua negara tersebut selanjutnya, penyakit busuk
pangkal batang juga dilaporkan ada di negara Angola, Kamerun, Ghana, Nigeria,
Zambia, San Tome, Principe, Tanzania, dan Zimbabwe. Di negara-negara Afrika
ini, busuk pangkal batang biasanya menyerang tanaman kelapa liar di hutan. Pada
tahun 1931, penyakit busuk pangkal batang dilaporkan menyerang kelapa sawit di
Malaysia pada tanaman berumur 25 tahun dan tetap tanaman berumur 25 tahun dan
tetap dianggap penyakit tidak penting secara ekonomi. Tidak lama kemudian
dilaporkan juga menyerang kelapa sawit di Indonesia. Di kedua negara ini kelapa
sawit dibudidayakan secara besar-besaran serta iklimnya cocok bagi perkembangan Ganoderma,sehingga
perkembangan penyakit busuk pangkal batang menjadi sangat pesat. Penyakit busuk
pangkal batang juga muncul secara merata baik di tanah daerah pantai maupun
tanah di daerah pedalaman. Di benua Asia, selain di kedua negara ini penyakit
busuk pangkal batang juga ditemukan di India (Sengupta et al., 1990) dan Thailand (Tummakate
& Likhitekaraj,1998).
Di
Indonesia serangan BPB awalnya rendah pada tanaman kelapa sawit berumur 7
tahun, selanjutnya serangan meningkat sebesar 40% ketika tanaman kelapa sawit
mencapai usia 12 tahun (Ariffin et al. 2000). Pada lahan generasi
keempat serangan BPB terjadi lebih awal dan menyerang tanaman berumur 1 hingga
2 tahun (Sinaga et al. 2003). Susanto (2002) menyatakan bahwa penyakit
BPB dapat menyerang bibit-bibit kelapa sawit sejak di persemaian. Hal ini
diduga karena patogen penyebab BPB semakin menyebar pada lahan yang sering
diremajakan. Pernyataan ini diperkuat oleh Subronto et al. (2003) bahwa
pada lahan generasi pertama serangan penyakit ini sangat rendah, dengan
bertambahnya generasi tanam berikutnya maka persentase serangan akan semakin
tinggi, dan gejala penyakit sudah dapat terlihat pada awal pertumbuhan tanaman.
Awalnya, penyakit Ganoderma diduga menyerang tanaman
menghasilkan saja, dan secara ekonomi tidak berbahaya dengan kejadian
penyakitnya pada tanaman tersebut yaitu di bawah satu persen. Satu persen kehilangan
hasil pada tanaman dapat dikompensasi dengan tanaman sehat di sekitarnya yang
menyerap lebih banyak sinar matahari. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, Ganoderma telah menjadi salah satu
masalah paling serius dalam budidaya kelapa sawit terutama pada satu atau lebih
dari dua generasi tanam. Selain itu, Ganoderma saat ini menjadi masalah serius
pada kelapa sawit generasi tua. Kejadian penyakit Ganoderma berkorelasi positif dengan
generasi kebun kelapa sawit.
Hal di atas juga dilaporkan di dalam hasil penelitian Elfina dkk. (2011), bahwa
patogen ini dapat juga menyerang bibit kelapa sawit pada saat pembibitan
sehingga dikuatirkan dapat menjadi sumber inokulum di lapangan. Gejala penyakit
yang ditimbulkan oleh jamur G. boninense
pada bibit kelapa sawit adalah gejala klorosis yang pada mulanya terjadi pada
pinggir daun dan selanjutnya klorosis membesar serta berubah menjadi warna
coklat (nekrotik). Serangan yang parah pada bibit menyebabkan seluruh bagian
daunnya dapat menjadi berwarna coklat kehitaman. Hal ini juga dinyatakan oleh
Susanto dkk. (2005) bahwa sebelumnya jamur G.
boninense hanya menyerang tanaman yang lebih tua, namun saat ini telah
ditemukan pada tanaman yang lebih muda dengan gejala yang muncul lebih awal dan
lebih berat, sehingga diperlukan suatu tindakan yang tepat.
Dengan demikian, penyakit busuk pangkal batang merupakan penyakit
penting yang menyebabkan kehilangan hasil secara luas pada perkebunan kelapa
sawit (Treu, 1998; Susanto, 2009), terutama di Indonesia dan Malaysia (Turner,
1981; Darmono, 1998). Di beberapa perkebunan di Indonesia, penyakit ini telah
menyebabkan kematian kelapa sawit hingga 80% atau lebih dari populasi kelapa
sawit, dan hal tersebut menyebabkan penurunan produk kelapa sawit per satuan luas
(Susanto, 2002; Susanto et al., 2008).
Ada dua macam kerugian yang disebabkan oleh Ganoderma, kerugian langsung dan tidak
langsung. Kerugian langsung berhubungan dengan produksi yang rendah karena
kematian tanaman, sedangkan kerugian tidak langsung berhubungan dengan
penurunan berat buah dari buah kelapa sawit. Ganoderma yang menyerang tanaman membuat
berat batang tanaman menjadi berkurang yang pada akhirnya membuat tanaman
menjadi tidak berbuah.
DAFTAR PUSTAKA
bisa menghubungi penulis ^_^ di https://www.facebook.com/Dandazy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar