PENGENDALIAN YANG MENGALIHKAN PATOGEN DARI INANGNYA MELALUI
EVASI ATAU PENGHINDARAN PATOGEN (AVOIDAN)
Oleh :
Rachmad Saputra, Sekar Utami Putri, Astuti Puji Rahayu
Pasca Sarjana Fitopatologi
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada
PENDAHULUAN
Pengendalian penyakit tumbuhan dilakukan bertujuan
untuk melindungi tanaman atau mengurangi tingkat kerusakan tanaman.
Pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan berbagai cara yang pada dasarnya
adalah pengelolaan segitiga penyakit, yaitu menekan populasi patogen
serendah-rendahnya, membuat tanaman tahan terhadap serangan patogen, serta
mengusahakan lingkungan agar menguntungkan tanaman tetapi tidak menguntungkan
kehidupan patogen.
Cara pengendalian umumnya bertujuan untuk menyelamatkan populasi dibandingkan menyelamatkan sedikit individu tanaman. Umumnya, kerusakan atau kehilangan hasil dari satu atau beberapa tanaman saja dari sekian populasi tanaman di suatu lahan dianggap bukan masalah. Dengan demikian, pengendalian umumnya dilakukan pada populasi tanaman pada suatu areal, walaupun pada kasus tertentu pengendalian dapat juga dilakukan hanya pada satu atau beberapa individu tanaman (terutama pohon, tanaman hias, dan kadang-kadang tanaman yang terinfeksi virus).
Cara pengendalian umumnya bertujuan untuk menyelamatkan populasi dibandingkan menyelamatkan sedikit individu tanaman. Umumnya, kerusakan atau kehilangan hasil dari satu atau beberapa tanaman saja dari sekian populasi tanaman di suatu lahan dianggap bukan masalah. Dengan demikian, pengendalian umumnya dilakukan pada populasi tanaman pada suatu areal, walaupun pada kasus tertentu pengendalian dapat juga dilakukan hanya pada satu atau beberapa individu tanaman (terutama pohon, tanaman hias, dan kadang-kadang tanaman yang terinfeksi virus).
Penyakit yang sangat serius pada tanaman tertentu
biasanya dimulai dari adanya bagian kecil dari tanaman yang terinfeksi dan
menjadi sakit, kemudian menyebar dengan cepat, dan sukar untuk disembuhkan
setelah penyakit mulai berkembang. Untuk itu, hampir semua metode pengendalian
ditujukan untuk melindungi tanaman agar tidak menjadi sakit daripada
menyembuhkannya setelah mereka menjadi sakit. Hanya sedikit penyakit infeksi
pada tanaman yang dapat di kendalikan dengan baik di lapang dengan cara terapi.
Banyak sekali cara-cara pengendalian yang dapat
dilakukan untuk mengendalikan penyakit tumbuhan, salah satunya adalah dengan
cara pengendalian yang mengalihkan patogen dari inangnya yaitu dengan Evasi
atau penghindaran patogen (avoidan). Evasi (avoidan) dilakukan untuk mengurangi
inokulum awal, mengurangi laju infeksi dan mengurangi lamanya epidemi.
Dalam mengurangi inokulum awal, evasi merupakan cara
pengendalian melalui pengurangan tingkat penyakit dengan memilih waktu tanam
atau memilih lahan yang mempunyai jumlah inokulum yang rendah atau karena faktor
lingkungan tidak sesuai untuk infeksi. Untuk mengurangi laju infeksi, evasi
dilaksanakan guna mengurangi laju produksi inokulum, laju infeksi, atau laju
perkembangan patogen dengan cara memilih musim tanam atau memilih lahan yang
lingkungannya tidak mendukung. Sedangkan dalam mengurangi lamanya epidemi,
evasi dilakukan dengan menanam cultivar
tanaman yang cepat dewasa atau menanam suatu musim yang memungkinkan tanaman
cepat dewasa.
AVOIDAN
Avoidan dapat diartikan pengendalian penyakit dengan cara memilih waktu tanam atau memilih
lahan tanam saat inokulum tidak efektif karena kondisi lingkungan tidak
mendukung atau inokulum dalam jumlah yang sangat sedikit bahkan tidak ada sama
sekali. Tujuan dari cara pengendalian ini adalah untuk menghindarkan terjadinya
kontak antara inang dengan patogen atau dihindarkan waktu yang bertepatan
antara stadia tanaman yang rentan dengan kondisi lingkungan yang mendukung
kehidupan patogen. Yang termasuk dalam tindakan avoidan adalah pemilihan area
geografis, seleksi lahan, pemilihan waktu tanam, varietas lolos penyakit,
seleksi pada benih dan perbanyakan vegetatif, serta modifikasi praktek
penanaman.
Pemilihan Area Geografis
Area geografis yang dipilih adalah yang lingkungan
fisiknya (suhu, kelembapan, curah hujan dsb.) sesuai untuk tanaman tetapi
kurang sesuai untuk patogen. Faktor-faktor tersebut juga akan berpengaruh
terhadap terjadinya penyakit. Tanaman kopi arabika yang rentan terhadap
penyakit karat daun kopi (Hemileia vastatrix) hanya bertahan hidup di
daerah pegunungan di Indonesia dengan ketinggian tempat lebih dari 1000 m dari
permukaan laut, seperti di Dataran Tinggi Ijen (Jawa Timur), Bali, Aceh, dan
Toraja. Hal ini karena pada daerah tersebut suhunya relatif dingin yang kurang
mendukung perkembangan patogen penyebab karat daun kopi.
Banyak penyakit yang disebabkan oleh jamur dan bakteri
menjadi lebih parah bila tanaman ditanam di daerah yang basah dibandingkan dengan
di daerah kering. Sebagai contoh adalah kasus cacar daun teh yang disebabkan
oleh jamur Exobasidium vexans. Penyakit cacar teh sangat dipengaruhi
oleh kelembapan udara. Kebun teh yang terletak di lereng sebelah timur umumnya
mendapat serangan E. vexans lebih rendah dibandingkan tempat lainnya.
Hal ini terjadi karena kebun yang terletak di lereng sebelah timur akan lebih
cepat mendapat sinar matahari pagi dan kelembapan udaranya pun lebih cepat berkurang.
Curah hujan pada daerah itu juga mempengaruhi perkembangan
penyakit tumbuhan. Penyakit karat pada kedelai (Phakopsora pachyrhizi)
akan lebih berat terjadi pada pertanaman kedelai musim penghujan. Dengan
demikian, bila tanaman kedelai di tanam di daerah yang lebih kering, maka
penyakit karat daun kedelai akan lebih ringan serangannya.
Menurut Hadiwiyono
(2007) Blood Disease Bacterium (BDB) lebih dominan
menyerang tanaman pisang di dataran rendah dan tidak dijumpai pisang terserang
BDB di dataran tinggi dengan ketinggian lebih dari 900m dpl. Hal ini dikarenakan
adanya suhu dan kelembapan udara yang sesuai untuk pertumbuhan BDB tersebut.
Seleksi Lahan
Keberhasilan bercocok tanaman tergantung juga pada
kondisi lahan. Hal ini terutama bila dalam tanah tersebut terdapat patogen
tanah yang seringkali secara endemi ada pada tanah-tanah tertentu. Apabila pada
tanah tersebut telah terdapat penyakit tular tanah yang bersifat endemi,
sedapat mungkin harus dihindarkan penanaman tanaman yang berkaitan dengan
penyakit tersebut dan dipilih lahan yang belum terinfestasi patogen tersebut.
Untuk itu, sejarah penggunaan lahan sebelumnya harus diketahui agar bisa
dihindarkan berkembangnya penyakit tumbuhan pada pertanaman berikutnya.
Contoh untuk hal ini telah diterapkan di Sumatera
Utara oleh beberapa perusahaan perkebunan pada tanaman kelapa sawit dan karet.
Lahan yang dipilih untuk penanaman kelapa sawit dihindarkan bekas perkebunan
kelapa sawit yang telah terserang berat oleh jamur Ganoderma sp.
(penyakit busuk pangkal batang) , sedangkan untuk lahan karet dihindarkan pada lahan
yang sebelumnya adalah pertanaman karet yang telah terserang berat oleh jamur Rigidoporus
lignosus penyebab penyakit akar putih pada tanaman karet.
Pemilihan Waktu Tanam
Pemilihan waktu tanam dapat menghindarkan tanaman dari
serangan patogen, misalnya menghindarkan menanam sayuran pada musim penghujan
karena banyak jamur dan bakteri patogenik yang dapat memusnahkan tanaman
sayuran dibandingkan pada musim kering.
Penanaman tanaman kentang pada musim kemarau akan
menghindarkan tanaman tersebut dari serangan jamur Phytophthora infestans penyebab
hawar daun kentang. Hal ini juga berlaku untuk penyakit bercak ungu (disebabkan
oleh jamur Alternaria porri) pada bawang putih, bawang merah dan bawang
daun; penyakit antraknose (Colletotrichum sp) pada cabe, bercak daun (Alternaria
solani) dan hawar daun (Phytophthora sp) pada tomat, dan penyakit
lanas (Phytophthora nicotianae) pada tembakau. Penyakit hawar bakteri
yang disebabkan oleh Xanthomonas campestris pv. manihotis pada
ketela pohon akan sangat tinggi instensitasnya pada saat musim penghujan dan
akan mencapai puncaknya pada akhir musim penghujan.
Berdasarkan hasil
penelitian Nurhayati dan Situmorang (2008) yang dilaksanakan di Kebun Karet
yang sudah menghasilkan di lahan perkebunan PTP VII Bergen Provinsi Lampung,
disimpulkan bahwa pola curah hujan dan hari hujan mempengaruhi pertumbuhan
tajuk tanaman dan perkembangan penyakit gugur daun Corynespora pada Karet.
Jumlah spora di udara relatif lebih tinggi dalam periode pengamatan tahun 2005
dibandingkan dalam periode yang sama tahun 2006, keparahan penyakit gugur daun
Corynespora, lebih tinggi pada tahun 2005 dibandingkan dengan tahun 2006.
Hal tersebut
dikarenakan selama paruh pertama Juli 2005 terjadi hujan dengan curah hujan
relatif sedikit dengan selang waktu terjadinya hujan berikutnya sekitar dua
hingga tiga hari. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya kelembaban udara pada
satu sisi dan temperatur juga tinggi. Kondisi ini merupakan kondisi yang
relative optimal bagi spora untuk berkecambah. Itulah sebabnya mengapa jumlah
spora pada keadaan ini berada pada kategori sedang yakni 5,5 spora/cm2. Kondisi
di mana ada hujan yang tidak begitu lebat yang diikuti oleh periode tanpa hujan
dalam waktu yang relatif lama menjadikan kondisi udara menjadi sangat optimal
bagi perkecambahan spora terjadi pada paruh pertama Agustus 2005. Pada periode
ini ternyata hujan jatuh setelah mengalami periode tanpa hujan sekitar 8 hari
sejak jatuh hujan dengan curah hujan yang kecil yakni hanya 4 mm/hari. Pada
keadaan ini terjadi jumlah spora yang terdistribusi relatif tinggi yakni
mencapai angka 19,5 spora/cm2 dibandingkan dengan paruh kedua Juli 2005 (Nurhayati
dan Situmorang, 2008).
Kondisi di atas
jauh berbeda selama periode pengamatan Juli dan Agustus pada tahun 2006. Selama
paruh pertama Juli 2006 tidak ada hujan sama sekali. Udara tergolong cerah atau
temperatur udara tergolong tinggi dengan kelembaban relative (RH) lebih rendah.
Kondisi ini menjadi tidak cocok bagi percambahan spora. Konsekuensi dari
kondisi cuaca demikian adalah sangat rendahnya jumlah spora di udara yakni
kurang dari 1 spora/cm2. Adanya hujan yang terjadi relatif lebat setiap hari
selama empat hari pada paruh kedua Juli 2006 menjadikan udara, walaupun relatif
lembab dan temperatur udara relatif tinggi, tidak begitu ideal untuk
perkecambahan spora. Ini dibuktikan jumlah spora di udara selama paruh kedua
Juli dan paruh pertama Agustus 2006 tidak tinggi dan tidak begitu berbeda nyata satu sama lain. Jumlah spora di udara di kedua periode. Selain itu, disimpulkan pula bahwa terjadinya epidemi
disebabkan oleh pergeseran pola pembentukan daun muda dan pola pergeseran curah
hujan. Apabila terjadi hujan dengan intensitas rendah dan berselang-seling
dengan hari hujan 6 hari, selama pembentukan daun muda, maka tanaman
menghasilkan klon RRIM 600 akan mengakibatkan terjadinya epidemi.
Pahhi dkk. (2005) juga melaporkan dalam hasil penelitiannya bahwa rendahnya intensitas penyakit bulai
ataupun tidak adanya penyakit bulai di
beberapa lokasi, baik pada fase vegetatif maupun fase generatif
memperkuat dugaan bahwa pertanaman jagung diawal musim hujan, setelah kemarau,
merupakan kondisi tidak kondusif untuk
perkembangannya dan resiko kegagalan panen akibat penyakit tersebut adalah rendah.
Hal tersebut juga terlihat pada dua lokasi pertanaman
yang melakukan penanaman secara terus menerus yaitu di Maros Baru dan Bajeng
Gowa (Instalasi Balitsereal). Di Maros Baru pada pengamatan kedua (fase
generatif), intensitas serangan bulai juga cukup rendah, hanya mencapai 8% atau
peningkatan intensitas hanya mencapai 3% dalam tenggang waktu pengamatan
sekitar satu bulan dari pengamatan difase vegetatif. Data ini pula
menggambarkan bahwa pada penanaman diawal musim hujan, faktor curah hujan yang tinggi menyebabkan rendahnya
intensitas penyakit bulai. Ini disebabkan karena sumber inokulum awal
tergolong rendah atau produksi konidia pada tanaman yang terinfeksi awal adalah
kurang, akibat cekaman curah hujan ataupun bila ada konidia yang berkembang dan berhasil
hinggap pada permukaan daun, akan tercuci oleh air hujan sebelum sempat
menginfeksi (Pahhri dkk., 2005).
Varietas Lolos Penyakit
Ada varietas-varietas tanaman tertentu yang cepat
dewasa sehingga tanaman dapat lolos dari serangan patogen pada fase bibit
(misalnya penyakit kulai). Di Indonesia belum didapatkan contoh yang spesifik
mengenai hal ini. Di India, varietas pea yang cepat dewasa dapat lolos dari
penyakit embun tepung dan karat.
Seleksi Pada Benih Dan Perbanyakan Vegetatif
Dipilih benih dan materi perbanyakan vegetatif yang
bebas penyakit. Bila material perbanyakan (biji, umbi, atau stok bibit) bebas
dari patogen, seringkali tanaman yang ditumbuhkan dari material semacam ini
akan bebas patogen tanaman untuk sisa hidupnya. Contohnya adalah tanaman
berkayu yang terserang oleh virus tidak bervektor. Dalam kebanyakan tanaman,
kalau inang dapat ditumbuhkan bebas patogen untuk periode tertentu sejak awal
kehidupannya, tanaman selanjutnya dapat
memproduksi hasil yang cukup baik walaupun untuk penanaman berikutnya patogen
berpotensi untuk mengadakan infeksi berikutnya. Contohnya adalah tanaman yang
dipengaruhi oleh virus bervektor, phytoplasma, jamur, bakteri dan nematoda.
Setiap tanaman inang akan tumbuh lebih baik dan
memproduksi lebih tinggi kalau material perbanyakan yang digunakan bebas dai
banyak patogen, atau paling tidak bebas dari patogen-patogen penting. Untuk
itu, penanaman diupayakan menggunakan biji atau bibit bebas patogen, walaupun
biayanya lebih mahal dibandingkan dengan material perbanyakan yang tidak
diketahui mengandung patogen atau tidak.
Semua tipe patogen berpotensi untuk terbawa dalam atau
pada material perbanyakan. Akan tetapi, relatif sedikit patogen yang dapat
menginvasi biji, walaupun beberapa patogen lain dapat mengkotaminasi permukaan
biji tersebut. Biji dapat membawa satu atau beberapa jamur secara internal
(seperti penyebab antraknosa dan gosong), bakteri tertentu penyebab layu
bakteri, bercak, dan hawar, dan satu dari beberapa virus (tobacco ringspot
dalam kedelai, bean common mosaic, lettuce mosaic, barley stripe mosaic, squash
mosaic, damn prunus necrotic ringspot). Pada sisi lain, materi perbanyakan
vegetatif diperkirakan dapat membawa secara internal patogen virus, viroid,
phytoplasma, protozoa, dan jamur vaskuler atau bakteri yang telah ada secara
sistemik dalam tanaman induknya, selain bahwa organ-organ perbanyakan tersebut
dapat membawa secara eksternal patogen jamur, bakteri dan nematoda. Beberapa
nematoda juga dapat terbawa secara internal dalam beberapa organ perbanyakan
bawah tanah (umbi, bulb, corm, dan rhizome) dan dalam atau pada akar.
Biji yang bebas dari jamur, bakteri, dan beberapa
patogen virus biasanya diperoleh dengan cara menanam tanaman dan memproduksi
bijinya pada (1) suatu area yang bebas atau terisolasi dari patogen, (2) suatu
area yang tidak sesuai untuk patogen (seperti daerah barat yang kering di USA
dimana biji buncis yang diproduksi biasanya bebas dari antraknosa dan hawar
bakteri), atau (3) suatu area yang tidak sesuai untuk kehidupan vektor patogen.
Untuk virus yang ditularkan melalui biji dan
ditularkan melalui kutu daun, sangat diperlukan biji yang benar-benar bebas
dari patogen, terutama bebas dari patogen virus. Karena patogen biasanya telah
ada di lahan pada awal musim pertumbuhan, maka sedikit saja biji telah
terinfeksi sudah cukup untuk menyediakan inokulum yang diperlukan untuk
penyebaran dan infeksi dini pada banyak tanaman, sehingga menyebabkan kerugian
yang parah.
Modifikasi Praktek Penanaman
Modifikasi praktek penanaman agar pertanaman terhindar
dari serangan patogen antara lain dengan cara mengatur jarak tanam, pemupukan,
pola tanam, dan sebagainya, agar penyakit tidak berkembang dengan pesat. Jarak
tanam yang rapat di lahan yang subur pada tanaman jagung akan membantu
perkembangan penyakit gosong (disebabkan oleh jamur Ustilago maydis),
demikian juga pada tanaman padi akan meningkatkan kerentanannya pada penyakit
hawar puth daun dan busuk batang yang disebabkan oleh Rhizoctonia solani.
Tanaman kacang tanah yang kekurangan unsur magnesium akan meningkatkan
kerentanan terhadap penyakit bercak daun Cercospora.
Tanaman padi yang kelebihan maupun kekurangan nitrogen
akan meningkatkan kerentanannya terhadap penyakit bercak cokelat yang
disebabkan oleh jamur Drechslera oryzae dan blas yang disebabkan oleh Pyricularia
oryzae. Tanaman padi yang cukup memperoleh pemupukan fosfor (P) dan kalium
(K) akan meningkat ketahanannya terhadap penyakit hawar daun bakteri yang
disebabkan oleh Xanthomonas campestris pv. oryzae, sedangkan
bibit padi yang dipindah pada umur yang lebih muda dan dipotong ujung daunnya
pada saat dipindah akan meningkatkan terjadinya penyakit tersebut. Pengendalian
penyakit kerdil rumput pada padi yang disebabkan oleh virus dan ditularkan
melalui vektor wereng cokelat dianjurkan antara lain menggunakan pergiliran
tanaman dengan tanaman bukan padi.
Menurut Widadi et
al (2009) menyimpulkan bahwa aplikasi garam NaCl dengan konsentrasi dan waktu
serta frekuensi aplikasi yang tepat akan sangat efektif mengendalikan penyakit
akar gada. Konsentrasi aplikasi NaCl 0,5-1% dapat dipertimbangkan untuk
mengendalikan penyakit akar gada. Aplikasi pada dua atau satu minggu sebelum
tanam dapat dipertimbangkan dalam pengendalian penyakit akar gada dengan penyiraman
larutan NaCl. Hal ini dikarenakan penyakit akar gada akan terhambat pada pH
diatas 7.
Pengendalian
penyakit keriting kuning cabai di Indonesia secara terpadu antara lain dengan
cara menanam bibit cabai sehat, sanitasi gulma dan tanaman sakit, menanam
kultivar cabai toleran, perbaikan pola tanam dan pengendalian serangga vector. Hal
ini dikarenakan begomovirus menyerang cabai mungkin selain dari tanaman cabai
seperti buncis, kacang panjang atau bahkan gulma yang sekitar cabai. Selain itu
vector tersebut menyebabkan penyakit daun keriting kuning cabai di Indonesia
bersifat persisten tapi tidak mengalami replikasi atau non-propagatif pada
tubuhnya (Sulandari 2006).
REFERENSI
Bisa langsung diskusi dengan penulis ^_^ di https://www.facebook.com/Dandazy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar